About Me

Foto Saya
aRie IMTY
Bandar Lampung, Lampung, Indonesia
saya adalah saya, kamu adalah kamu, saya bukan siapa-siapa, melainkan saya adalah diri saya sendiri.
Lihat profil lengkapku

Perjalanan Hidup

Hidup adalah perjuangan...
setiap detik yang kita lalui adalah peringatan..
Peringatan untuk selalu ingat akan sebuah Tanggung jawab...

Title

Pengikut

”DAMPAK PROGRAM KELUARGA BERENCANA TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT”

aRie IMTY | 23.14 | 1komentar

”DAMPAK PROGRAM KELUARGA BERENCANA TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT”

A. PENDAHULUAN
seorang wanita kader KB dengan penuh keyakinan menasihati seorang ibu. Katanya: Kalau mau bahagia, ikutlah KB. Lihat tuh.. Bu Sariman, anaknya lima. Sengsara. Seorang ibu setengah baya bercerita singkat: Nggak KB... malu rasanya. Ikut KB, hidup terjamin. Pernyataan tersebut merupakan cuplikan kecil hasil penelitian yang dilakukan baru-baru ini. Respons seperti di atas banyak sekali muncul ketika ditanyakan "bagaimana peran KB". Seorang peneliti di lapangan merasa sangat jenuh mendengarkan jawaban serupa sehingga ia harus mencari cara lain untuk menanyakannya. Apakah pertanyaan tersebut salah?
Pada dasarnya, pertanyaan tersebut tidak keliru. Keluarga berencana telah dipraktekkan bertahun-tahun oleh begitu banyak orang. Karenanya, wajar bila sekarang diteliti dampaknya. Jawaban atas pertanyaan tersebut juga sangat logis. Orang pada umumnya menjelaskan bahwa KB bertujuan untuk mengontrol jumlah anak. Secara ekonomis, jumlah anak yang sedikit berarti mengurangi beban keluarga, setidak-tidaknya beban ekonomi keluarga tersebut lebih ringan dibandingkan dengan bila ia memiliki anak yang lebih banyak. Permasalahannya, penjelasan tersebut terlalu sederhana, sementara hubungan antara jumlah anak dengan beban ekonomi tidak sederhana. Dalam keadaan ketika kondisi ekonomi keluarga tidak berubah, jumlah anak menjadi faktor yang berperan besar dalam menentukan kesejahteraan keluarga. Bila ekonomi rumah tangga memburuk, jumlah anak yang tetap pun akan menjadi beban yang terasa makin berat, apalagi bila anaknya bertambah. Bila keadaan ekonomi rumah tangga bertambah baik, jumlah anak yang tetap atau lebih kecil bisa dirasakan menjadi faktor yang ikut meningkatkan kesejahteraan keluarga. Logikanya, bila jumlah anak dalam keluarga bertambah pun, mungkin tidak akan menjadi beban bila peningkatan ekonominya lebih pesat dibandingkan dengan penambahan jumlah anak.
Dengan demikian, harus diingat bahwa jumlah anak yang sedikit tidak secara otomatis menyebabkan peningkatan kesejahteraan. Bahkan, sebagai faktor pendorong dalam proses peningkatan kesejahteraan pun bisa tidak sebesar yang dibayangkan. Banyak catatan yang harus diperhatikan untuk menyimpulkannya.

B. RUMUSAN MASALAH
1.Hampir semuanya sepakat bahwa harapan dan dorongan hidup yang dimaksud menuju pada satu arah utama, yaitu kesejahteraan dan kebahagiaan. Apakah dalam hal ini program KB yang di galakkan pemerintah bisa menjadi sebuah harapan bagi masyarakat?
2.Dengan satu keyakinan bahwa keluarga berencana merupakan cara yang sangat penting untuk meraih kesejahteraan, maka disusunlah program dan dibuat institusi yang menanganinya, yaitu Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Apakah posisi penting dari BKKBN dalam mewujudkan harapan dari program tersebut?

C. KONSEP TEORI
Undang Undang Pelayanan Publik (secara resmi bernama Undang Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik) adalah undang undang yang mengatur tentang prinsip-prinsip pemerintahan yang baik yang merupakan efektifitas fungsi-fungsi pemerintahan itu sendiri. perlayanan publik yang dilakukan oleh pemerintahan atau koporasi yang efektif dapat memperkuat demokrasi dan hak asasi manusia, mempromosikan kemakmuran ekonomi, kohesi sosial, mengurangi kemiskinan, meningkatkan perlindungan lingkungan, bijak dalam pemanfaatan sumber daya alam, memperdalam kepercayaan pada pemerintahan dan administrasi publik. Negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik yang merupakan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, membangun kepercayaan masyarakat atas pelayanan publik yang dilakukan penyelenggara pelayanan publik merupakan kegiatan yang harus dilakukan seiring dengan harapan dan tuntutan seluruh warga negara dan penduduk tentang peningkatan pelayanan publik, sebagai upaya untuk mempertegas hak dan kewajiban setiap warga negara dan penduduk serta terwujudnya tanggung jawab negara dan korporasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik, diperlukan norma hukum yang memberi pengaturan secara jelas, sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas dan menjamin penyediaan pelayanan publik sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik serta untuk memberi perlindungan bagi setiap warga negara dan penduduk dari penyalahgunaan wewenang di dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Dalam Undang Undang Pelayanan Publik terdapat pengartian; Pelayanan publik merupakan kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik, Penyelenggara pelayanan publik atau Penyelenggara merupakan setiap institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik, Atasan satuan kerja Penyelenggara merupakan pimpinan satuan kerja yang membawahi secara langsung satu atau lebih satuan kerja yang melaksanakan pelayanan publik, Organisasi penyelenggara pelayanan publik atau Organisasi Penyelenggara merupakan satuan kerja penyelenggara pelayanan publik yang berada di lingkungan institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik, Pelaksana pelayanan publik atau Pelaksana merupakan pejabat, pegawai, petugas, dan setiap orang yang bekerja di dalam Organisasi Penyelenggara yang bertugas melaksanakan tindakan atau serangkaian tindakan pelayanan publik, Masyarakat merupakan seluruh pihak, baik warga negara maupun penduduk sebagai orang-perseorangan, kelompok, maupun badan hukum yang berkedudukan sebagai penerima manfaat pelayanan publik, baik secara langsung maupun tidak langsung, Standar pelayanan merupakan tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai kewajiban dan janji Penyelenggara kepada masyarakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan terukur, Maklumat pelayanan merupakan pernyataan tertulis yang berisi keseluruhan rincian kewajiban dan janji yang terdapat dalam standar pelayanan, Sistem informasi pelayanan publik atau Sistem Informasi merupakan rangkaian kegiatan yang meliputi penyimpanan dan pengelolaan informasi serta mekanisme penyampaian informasi dari Penyelenggara kepada masyarakat dan sebaliknya dalam bentuk lisan, tulisan Latin, tulisan dalam huruf Braile, bahasa gambar, dan/atau bahasa lokal, serta disajikan secara manual ataupun elektronik, Mediasi merupakan penyelesaian sengketa pelayanan publik antarpara pihak melalui bantuan, baik oleh ombudsman sendiri maupun melalui mediator yang dibentuk oleh ombudsman, Ajudikasi merupakan proses penyelesaian sengketa pelayanan publik antarpara pihak yang diputus oleh ombudsman, Menteri merupakan menteri dimana kementerian berada yang bertanggung jawab pada bidang pendayagunaan aparatur negara, Ombudsman merupakan sebuah lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik, baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan hukum milik negara serta badan swasta, maupun perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.
- Asas dan tujuan
Undang-Undang ini berasaskan pada kepentingan umum, adanya kepastian hukum, adanya kesamaan hak, adanya keseimbangan hak dan kewajiban, keprofesionalan, partisipatif, persamaan dalam perlakuan/tidak diskriminatif, keterbukaan, akuntabilitas, fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, ketepatan waktu dan kecepatan, kemudahan dan keterjangkauan dan bertujuan agar batasan dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung jawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik, menjalankan sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang layak sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik dalam penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam mendapatkan penyelenggaraan pelayanan publik.
- Pembina dan penanggung jawab
Pembina dalam penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan oleh pimpinan lembaga negara, pimpinan kementerian, pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian, pimpinan lembaga komisi negara atau yang sejenis, dan pimpinan lembaga lainnya terhadap pimpinan lembaga negara dan pimpinan lembaga komisi negara atau yang sejenis yang dibentuk berdasarkan undang-undang, gubernur pada tingkat provinsi melaporkan hasil perkembangan kinerja pelayanan publik masing-masing kepada dewan perwakilan rakyat daerah provinsi dan menteri dan bupati pada tingkat kabupaten beserta walikota pada tingkat kota wajib melaporkan hasil perkembangan kinerja pelayanan publik masing-masing kepada dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota dan gubernur dan penanggung jawab mempunyai tugas untuk mengoordinasikan kelancaran penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan standar pelayanan pada setiap satuan kerja, melakukan evaluasi penyelenggaraan pelayanan publik dan melaporkan kepada pembina pelaksanaan penyelenggaraan pelayanan publik di seluruh satuan kerja unit pelayanan publik, Menteri yang bertanggung jawab di bidang pendayagunaan aparatur negara bertugas merumuskan kebijakan nasional tentang pelayanan publik, memfasilitasi lembaga terkait untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi antarpenyelenggara yang tidak dapat diselesaikan dengan mekanisme yang ada, melakukan pemantauan dan evaluasi kinerja penyelenggaraan pelayanan publik dengan mengumumkan kebijakan nasional tentang pelayanan publik atas hasil pemantauan dan evaluasi kinerja, serta hasil koordinasi, membuat peringkat kinerja penyelenggara secara berkala; dan dapat memberikan penghargaan kepada penyelenggara dan penyelenggara dan seluruh bagian organisasi penyelenggara bertanggung jawab atas ketidakmampuan, pelanggaran, dan kegagalan penyelenggaraan pelayanan.
- Ruang Lingkup
Dalam perundangan-undangan pelayanan publik ini meliputi pelayanan barang publik dan jasa publik serta pelayanan administratif yaitu pendidikan, pengajaran, pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi, lingkungan hidup, kesehatan, jaminan sosial, energi, perbankan, perhubungan, sumber daya alam, pariwisata. Pelayanan publik ini mengatur pengadaan dan penyaluran barang publik yang dilakukan oleh instansi pemerintah yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah yang dilakukan oleh suatu badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan/atau kekayaan daerah yang dipisahkan dan pembiayaannya tidak bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah atau badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan/atau kekayaan daerah yang dipisahkan, tetapi ketersediaannya menjadi misi negara.
Pelayanan atas jasa publik merupakan penyediaan jasa publik oleh instansi pemerintah yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah, suatu badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan/atau kekayaan daerah yang dipisahkan dan pembiayaannya tidak bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah atau badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan/atau kekayaan daerah yang dipisahkan, tetapi ketersediaannya menjadi misi negara.
Skala kegiatan pelayanan publik didasarkan pada ukuran besaran biaya tertentu yang digunakan dan jaringan yang dimiliki dalam kegiatan pelayanan publik untuk dikategorikan sebagai penyelenggara pelayanan publik yaitu tindakan administratif pemerintah yang diwajibkan oleh negara dan diatur dalam peraturan perundang-undangan dalam rangka mewujudkan perlindungan pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda termasuk tindakan administratif oleh instansi nonpemerintah yang diwajibkan oleh negara dan diatur dalam peraturan perundang-undangan serta diterapkan berdasarkan perjanjian dengan penerima pelayanan.
- Organisasi
Organisasi Penyelenggara berkewajiban menyelenggarakan pelayanan publik sesuai dengan tujuan pembentukan meliputi pelaksanaan pelayanan, pengelolaan pengaduan masyarakat, pengelolaan informasi, pengawasan internal, penyuluhan kepada masyarakat dan pelayanan konsultasi.
Pelayanan publik atau pelayanan umum dapat didefinisikan sebagai segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Penyelenggara
Berdasarkan organisasi yang menyelenggarakannya, pelayanan publik atau pelayanan umum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1.Pelayanan publik atau pelayanan umum yang diselenggarakan oleh organisasi privat, adalah semua penyediaan barang atau jasa publik yang diselenggarakan oleh swasta, seperti misalnya rumah sakit swasta, PTS, perusahaan pengangkutan
milik swasta.
1.Pelayanan publik atau pelayanan umum yang diselenggarakan oleh organisasi publik. Yang dapat dibedakan lagi menjadi :
1.Yang bersifat primer dan,adalah semua penye¬diaan barang/jasa publik yang diselenggarakan oleh pemerintah yang di dalamnya pemerintah merupakan satu-satunya penyelenggara dan pengguna/klien mau tidak mau harus memanfaatkannya. Misalnya adalah pelayanan di kantor imigrasi, pelayanan penjara dan pelayanan perizinan.
2.Yang bersifat sekunder, adalah segala bentuk penyediaan barang/jasa publik yang diselenggarakan oleh pemerintah, tetapi yang di dalamnya pengguna/klien tidak harus mempergunakannya karena adanya beberapa penyelenggara pelayanan.
- Karakteristik
Ada lima karakteristik yang dapat dipakai untuk membedakan ketiga jenis penyelenggaraan pelayanan publik tersebut, yaitu:
1.Adaptabilitas layanan. Ini berarti derajat perubahan layanan sesuai dengan tuntutan perubahan yang diminta oleh pengguna.
2.Posisi tawar pengguna/klien. Semakin tinggi posisi tawar pengguna/klien, maka akan semakin tinggi pula peluang pengguna untuk meminta pelayanan yang lebih baik.
3.Type pasar. Karakteristik ini menggambarkan jumlah penyelenggara pelayanan yang ada, dan hubungannya dengan pengguna/klien.
4.Locus kontrol. Karakteristik ini menjelaskan siapa yang memegang kontrol atas transaksi, apakah pengguna ataukah penyelenggara pelayanan. Sifat pelayanan. Hal ini menunjukkan kepentingan pengguna atau penyelenggara pelayanan yang lebih dominan.

D. PEMBAHASAN TEORI
A. HARAPAN MASYARAKAT TERHADAP PROGRAM KB
Program KB dari waktu ke waktu mengalami pasang surut, meski kesertaan masyarakat untuk menjadi peserta KB terus bertambah, tidak terkecuali ketika krisis ekonomi mendera Indonesia tahun 1998 lalu. Ini sebuah indikasi kuat bahwa perubahan sosial politik dan ekonomi ternyata tidak berimbas pada tekad masyarakat untuk tetap menjadi peserta KB meski harus dihadapkan pada kesulitan ekonomi yang menghimpit. Sampai tahun 2003 lalu, Total Fertility Rate (TFR) telah dapat diturunkan menjadi 2,6 per ibu atau rata-rata keluarga memiliki anak antara 2 sampai 3 orang dibandingkan tahun 1970- an yang masih bertengger antara 5 sampai 6 anak. Laju pertumbuhan penduduk juga berhasil ditekan menjadi 1,49 per tahun dari 2,34 per tahun pada periode 1970-1980. Bahwa tujuan
KB adalah memperkaya kehidupan manusia dan bukan menghalanginya, adalah isi dari deklarasi itu juga. Sejak itu, dinamika program KB di lapangan begitu menonjol. Mulai dari kota hingga sudut-sudut pelosok desa, KB menjadi barang baru. Di tengah perjuangan pemerintah dan segelintir orang dan LSM untuk mensosialisasikannya, di lapangan, program ini sesungguhnya sempat mendulang persoalan. Pasalnya, beberapa pemuka agama menyatakan pelaksanaan program KB tak sesuai dengan akidah agama. Program KB kala itu memang mengundang pro dan kontra. Tak jarang polemik pun muncul hangat ke permukaan. Pun begitu, pemerintah tetap saja mensosialisasikan dan mendorong program KB ke tengah masyarakat, seraya berusaha menyamakan persepsi dengan mereka yang berseberangan. Hasilnya, gerakan mendukung pelaksanaan program KB di Indonesia kian hari bertambah bulat. Di mana-mana KB dibicarakan. Ingat slogan "Dua Anak Cukup", terpampang hampir di banyak tempat. Rumah-rumah penduduk bercapkan tanda KB dalam lingkaran berwarna biru, terlihatdi mana-mana. Kemeriahan ini diwarnai pula oleh berbagai program KB yang dikemas dalam berbagai kegiatan innovatif dan kreatif. Kegiatan ini mewarnai program di penghujung 1970 dan awal 1980. Ketika itu, ada gerakan "Gugur Gunung" di Jawa Timur. Ada gerakan "Safari Spiral" di Jawa Barat, Safari KB Karang Taruna di Labuhan Batu, Safari KB ABRI Masuk Desa di Simalungun, Safari KB Yahowu di Nias, atau Safari Mubaligh Wanita di Kalimantan Selatan. Semua bentuk safari itu pada dasarnya adalah kegiatan memperluas cakupan peserta KB dalam rangka intensifikasi program untuk menggarap daerah-daerah legok. Caranya, dengan memobilisasi segenap potensi yang ada. Tujuannya tak lain guna mempercepat proses pelembagaan Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS). Alhasil, berbagai kegiatan itu mendulang sukses. Kebutuhan dan manfaat ber-KB dalam usaha membangun keluarga kecil, bahagia dan sejahtera, semakin dirasakan oleh masyarakat. Dalam suasana itu, di tahun 1985 pemerintah meluncurkan KB Mandiri, lebih dikenal dengan sebutan KB Lingkaran Biru. Peserta KB "kelas menengah-atas" dipersilakan memanfaatkan jalur pelayanan KB melalui dokter dan bidan praktik swasta. Perpaduan pelaksanaan KB jalur pemerintah (subsidi) dan KB jalur swasta kian mengakarkan program tersebut ke tengah masyarakat. Keluarga kecil menjadi dambaan banyak keluarga di Indonesia. Puluhan ribu keluarga muda melakukannya. Baby boom yang terjadi pada dasawarsa 1970-an memasuki tahap pengereman di tahun-tahun 1980-1990.
Atas keberhasilan program KB di Indonesia, Indonesia yang diwakili Presiden Soeharto pada 1989 menerima piagam penghargaan tertinggi di bidang Kependudukan dan KB, berupa "United Nations Population Award" dari PBB. Pada 21 Februari 1992, penghargaan internasional diterima lembaga BKKBN dalam bidang managemen, berupa "Management Development Award". Penghargaan ini diberikan oleh lembaga managemen internasional di Manila, Majalah Executive Digest dan Japan Airlines. Penghargaan managemen ini sekaligus memberikan pengakuan terhadap kernampuan pemerintah dan masyarakat dalam mengelola gerakan KB hingga ke tingkat desa dan pedukuhan. Tahun 1994, penghargaan serupa kembali diterima lembaga BKKBN. Kali ini dalam bidang manajemen operasional. Dalam ICPD 1994, satu di antaranya dinyatakan bahwa penggunaan alat kontrasepsi adalah bagian dari hak-hak reproduksi yang juga merupakan bagian dari HAM (hak azasi manusia) yang universal. Hak-hak reproduksi yang paling pokok, adalah hak individu dan pasangan untuk menentukan kapan akan melahirkan, berapa jumlah anak dan jarak anak yang akan dilahirkan, serta memilih sendiri upaya mewujudkan hak-hak tersebut. Itu berarti, pendekatan yang berlebihan pada target kuantitatif dan demografis, karenanya cenderung menimbulkan berbagai ekses negatif. Berdasarkan arahan itu, sebuah paradigma baru dalam pengembangan program KB yang terintegrasi dengan pelayanan kesehatan reproduksi sesuai konsep ICPD, dibutuhkan. Tak berlebihan kalau kemudian visi program KB dan kesehatan reproduksi mengalami reposisi, dari sebelumnya Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS) menjadi "Keluarga Berkualitas 2015". Terlepas dari persoalan perlu tidaknya program KB bagi negeri berpenduduk 220 juta jiwa ini, sumbangan program ini bagi bangsa selama 35 tahun keberadaannya, sungguh berarti. Betapa tidak, melalui keberadaannya, pertumbuhan penduduk dapat ditekan menjadi 1,49 persen dari 2,3 persen pada dekade 1970-1980. Demikian pula Total Fertility Rate turun menjadi 2,6 (2002-2003) dari sebelumnya 5,6 (1970). Indikasi itu telah memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap pengendalian penduduk melalui birth averted sebanyak 30 juta. Besarnya jumlah penduduk tetap jadi masalah. Teori Thomas Malthus pada abad ke-19 menyebutkan: "Pertumbuhan penduduk berjalan seperti deret ukur, sedangkan perkembangan pangan berkembang seperti deret hitung", menjadi kenyataan. Hingga berakhirnya penjajahan Belanda, belum tampak upaya pemerintah kolonial Belanda melakukan pengendalian pertumbuhan penduduk secara nyata. Baru setelah perang kemerdekaan usai dan penyerahan kedaulatan ke pemerintah RI, bangsa Indonesia mulai menata sendiri pembangunan negerinya. Di bidang kependudukan, kalangan dokter dan tokoh masyarakat mulai memikirkan perlunya pengendalian kehamilan untuk kesehatan ibu dan anak. Gagasan tersebut berkembang karena keprihatinan menghadapi tingginya angka kematian bayi dan ibu melahirkan. Sebagai gambaran, survei Kementerian Kesehatan RI, sekitar tahun lima puluhan, di Yogyakarta angka kematian bayi mencapai 130 dari 1000 bayi yang dilahirkan. Di Jawa Barat, angka itu jauh lebih tinggi, yakni 300 bayi per 1000 kelahiran. Lebih celaka lagi, angka kematian ibu akibat hamil dan melahirkan juga sangat tinggi hingga kini, yakni 334 per 100.000 kelahiran hidup. Karena itu mulai timbul pemikiran, program kesehatan ibu-anak mulai dikaitkan dengan gagasan pengendalian kelahiran.

B. BKKBN SEBAGAI PELAKSANA PROGRAM
Salah satu perubahan politik dan tata-pemerintahan penting yang perlu diperhatikan adalah otonomi daerah, yang diatur melalui Undang-Undang No. 32 tahun 2004 sebagai revisi dari Undang-Undang No. 22 tahun 1999. Saat ini institusi BKKBN telah mengalami desentralisasi, di mana penanganan masalah keluarga berencana di daerah sebagian menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Merekalah yang menentukan ada tidaknya institusi daerah yang secara spesifik menyelenggarakan program keluarga berencana. Perubahan seperti ini pada satu sisi dapat memberdayakan daerah dalam menangani masalah kependudukan dan KB, dan diharapkan dapat menangani masalah kependudukan lebih sesuai dengan kondisi masing-masing daerah. Otonomi program KB juga dimaksudkan untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat yang membutuhkannya. Namun di sisi lain, otonomi daerah dapat mengendorkan intensitas pengelolaan program kependudukan. Intensitas penyelenggaraan program kependudukan dan KB akan sangat tergantung kepada prioritas yang diberikan oleh pemerintah daerah. Setelah satu tahun berlangsung, tampak bahwa tidak semua daerah tertarik untuk menjalankan mandat pelayanan keluarga berencana sebagai program pelayanan publik. Berdasarkan hasil pemantauan sampai 1 Maret 2005, dari 410 kabupaten/kota yang menerima P3D, status kelembagaan KB di Kabupaten/Kota sangat bervariasi, yaitu:
a. Kabupaten/Kota yang membentuk Dinas:
1) Utuh = 30kab/kota
2) Merger = 116 kab/kota 3
Insert = 4 kab/kota
Jumlah = 150 kab/kota

b. Kabupaten/kota yang membentuk Badan:
1) Utuh = 35kab/kota
2) Merger = 79 kab/kota Jumlah
= 114 kab/kota

c. Kabupaten/kota yang membentuk Kantor:
1) Utuh = 23 kab/kota
2) Merger = 7 kab/kota Jumlah
= 30 kab/kota

Jumlah keseluruhan = 294 kab/kota
Jumlah kabupaten/kota yang belum membentuk lembaga KB sebanyak 116 dari 410
kabupaten/kota atau 28,29%.

Masalah yang perlu perhatian adalah bagaimana penanganan keluarga berencana ditingkat lokal. BKKBN telah kehilangan kaki, fungsinya saat ini hanya pada tingkat pembuatan kebijakan. Komitmen pemerintah daerah tentang program KB sangat variatif, dan pemerintah pusat tidak memiliki otoritas untuk mengatur pemerintah daerah agar meningkatkan komitmennya. Itulah sebabnya, maka strategi pengelolaan KB pada era otonomi ini bukan lagi berlandaskan pada hubungan hirarkhis, tetapi lebih diarahkan pada pendekatan yang bersifat pembinaan dan koordinatif. Untuk lebih menjamin keberlangsungan program KB, dibutuhkan komitmen yang kuat dari pimpinan tertinggi di Pemerintahan mulai dari Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota sampai pimpinan di lini lapangan. Dukungan politis juga diperlukan dari kalangan legislatif baik di pusat maupun daerah. Dukungan dari kedua lembaga itu sama pentingnya dengan dukungan dari LSM, swasta, tokoh masyarakat dan tokoh agama, karena berdasarkan pengalaman selama ini keberhasilan KB tidak hanya ditentukan oleh para pengambil kebijakan di kalangan eksekutif dan legislatif, tapi juga ditentukan oleh
dukungan moral dari berbagai lapisan masyarakat. Krisis yang dialami Indonesia sekarang ini telah membalikkan banyak hal. Dalam hal kesejahteraan, banyak orang tidak lagi berpikir bagaimana cara meningkatkannya. Sebagian besar orang hanya berpikir bagaimana bertahan hidup. Uang begitu sulit didapat, tetapi begitu mudah lepas. Paradoks yang terjadi menyebabkan nilai uang menjadi ambivalen. Pada satu sisi uang sangat berharga, ini terjadi ketika seseorang harus mendapatkannya dengan sangat susah, pada sisi lain, uang menjadi sangat rendah nilainya, yaitu ketika membelanjakannya. Saat seperti inilah pemaduan program KB dengan program peningkatan kesejahteraan, seperti Kukesra dan Takesra, bisa berperan penting. Mudah dibayangkan, keluarga yang memiliki anak banyak pasti akan lebih banyak mengalami kesulitan pada saat sekarang ini. Oleh karena itu, program KB tidak boleh lengah. Angka prevalensi pemakai kontrasepsi dan tingkat fertilitas yang
rendah harus dipertahankan. Proporsi pemakai kontrasepsi di beberapa wilayah yang masih rendah harus ditingkatkan dan tingkat fertilitas yang tinggi harus ditekan. Kelengahan dan kegagalan program KB akan membuat permasalahan menjadi bertambah runyam. Data-data di lapangan menunjukkan bahwa ketidakberlanjutan pemakaian alat kontrasepsi mulai terasakan. Hal ini dikarenakan ketidakmampuan akseptor untuk mendapatkan alat kontrasepsi, terutama bagi mereka yang harus membeli. Distribusi alat-alat kontrasepsi juga dirasakan mulai kurang lancar (Yuarsi,
1998). Bersamaan dengan krisis ini kebutuhan akan modal usaha menjadi sangat tinggi sebagai respon atas banyaknya korban pemutusan hubungan kerja dan macetnya usaha yang selama ini dijalankan. Dengan demikian, sasaran dari program peningkatan kesejahteraan yang dikelola BKKBN semakin banyak jumlahnya. Meningkatnya demand ini berarti pula meningkatkan peran program yang dimaksud. Meskipun demikian, masih selalu ada keraguan apakah program tersebut dapat menjadi strategi untuk bertahan hidup atau meningkatkan kesejahteraan. Pada masa krisis seperti sekarang ini bertahan hidup makin sulit, apalagi meningkatkan kesejahteraan. Bila demikian keadaannya, seharusnya BKKBN mengubah tujuan program kesejahteraan menjadi program bertahan hidup. Keduanya jelas-jelas berbeda.

E. PENUTUP
Tidak diragukan lagi bahwa program KB telah membuahkan hasil yang besar, pertama dalam menurunkan angka kelahiran (TFR) dan kedua dalam menginternalisasikan norma keluarga kecil. Sukses ini diakui secara nasional dan bahkan internasional. Meskipun demikian, sukses ini pun bukannya tanpa kritik.
Penurunan kelahiran masih sering dipermasalahkan akurasi datanya. Bahwa penurunan itu terjadi tidak ada yang mengingkari, tetapi angka yang diklaim BKKBN sering terlalu besar. Sementara itu, kedua sukses ini ternyata belum ditindaklanjuti secara serius. Buktinya, kualitas pelayanan KB masih terus disorot tajam. Sukses yang sesungguhnya masih perlu dijaga dan diperbaiki ternyata membuat BKKBN meloncat seperti tampak dalam program barunya (Kukesra, Takesra, Prokesra, dan sejenisnya). Program ini memang populer dan dibutuhkan, namun juga menimbulkan kekhawatiran. Kekhawatiran pertama disebabkan oleh ketidakyakinan akan kemampuan BKKBN untuk mengelolanya. Pada tahap awal barangkali akan sukses, namun dalam perjalanan selanjutnya belum bisa dipastikan. Hal ini dikarenakan lembaga tersebut tidak dirancang untuk itu, sementara lembaga lainlah yang memiliki kewajiban itu. Kekhawatiran kedua berkaitan dengan konsentrasi misi utama BKKBN yang mungkin akan berubah. Dengan memperluas kegiatan ke arah peningkatan kesejahteraan, besar kemungkinan misi pengendalian penduduk terlupakan. Klaim bahwa keduanya berkaitan memang harus diakui, namun analisis di bagian terdahulu membuktikan bahwa tidak mudah menghubungkan KB dengan kesejahteraan. Masih banyak faktor yang diabaikan atau disimplifikasikan yang pada akhirnya akan
mengarah pada illusory correlation. Pada masa krisis ekonomi seperti sekarang ini, kritik-kritik tersebut untuk sementara pasti akan surut dan hilang. Sebaliknya, ada kebutuhan yang sangat besar terhadap upaya-upaya membantu bertahan hidup pada masa krisis seperti yang dilakukan BKKBN. Sekaranglah saatnya untuk secara sungguh-sungguh menjalankan program beyond the family planning, tanpa melupakan core bussiness. Sekarang pula saatnya untuk menjalin kerja sama yang lebih baik dengan lembaga lain karena harus diakui bahwa mereka juga telah dan terus melakukan program serupa. Program yang lebih spesifik, yaitu penurunan TFR, sukses setelah melibatkan begitu banyak lembaga, apalagi program yang lebih besar seperti yang sekarang dijalankan. Aroganisme kelembagaan seperti yang selama ini banyak dilontarkan oleh para pengkritik seharusnya menjadi catatan masa lalu yang tidak diulang lagi oleh BKKBN.

F. REFERENSI
Wilopo, Siswanto Agus. 1997. "Arah dan implementasi
kebijaksanaan program keluarga berencana di Indonesia",

Yuarsi, Susi Eja. 1998. "Pemakaian norplant secara salah: antara
kualitas pelayanan dan kepatuhan akseptor",

Faturochman dan Agus Dwiyanto. 1998. "Validitas dan reliabilitas
pengukuran keluarga sejahtera",

Hanum, Sri Handayani. 1997. Perkawinan usia belia. Yogyakarta:
kerja sama Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah
Mada dan Ford Foundation.

PROBLEMATIKA POLITIK HUKUM AGRARIA

aRie IMTY | 23.13 | 0 komentar

PROBLEMATIKA POLITIK HUKUM AGRARIA
DI INDONESIA
A. PENDAHULUAN
Salah satu problematik yang di hadapi pemerintah dewasa ini muncul "kembali " persoalan pertanahan/ agraria dalam wujud sengketa pertanahan yang terakumulasi dalam tindakan anarkis, seperti penjarahan dan pendudukan tanah – tanah perkebunan, perhutani, Hak Usaha Pertambangan dan Hak Pengelolaan Hutan yang terjadi di Jawa, Sumatera, kalimantan, sulawesi dan Papua yang dalam tataran hukum sangat bertentangan. Sebaliknya dalam wacana sosiologis-empiris perilaku rakyat ini dicermati sebagai manifestasi dari sikap protes ketidak adilan yang melampaui batas kesadaran mereka ( Gunawan Wiradi, 2000: hal 89) tujuannya menuntut kembalikan hak-hak yang dirampas karena saluran hukum tersumbat. Dan tampaknya sengketa / konflik pertanahan kedepan justru mungkin akan meningkat intensitasnya, ditambah upaya penanganan penyelesaiannya memberikan kesan tidak komprehensif, tidak tuntas dan sifatnya partial atau sektoral. Fenomena diatas untuk menjawab bahwa persoalan permasalahan keagrarian / pertanahan dalam tataran politik hukum agraria di Indonesia adalah masalah yang bersifat multi dimensional, yang merupakan masalah nasional yang krusial ( Sediono MP. Tjondronegoro, 1999:3 ). Didalamnya terkait berbagai aspek juridis, sosial, ekonomi, dan keamanan. klaim dari warga setempat baik di jawa diluar Jawa atas tanah perkebunan, kehutanan, Hak Pengelolaan Hutan dan usaha pertambangan yang mengatas namakan tanah leluhur ( hak adat/ ulayat) menunjukkan keruwetan permasalahan yang ada ( Maria Rita Ruwiati, 2000).
Tanah adalah elemen terpenting dan modal negara yang dipergunakan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat, sebab dalam konteks negara Indonesia yang agraris, tanah merupakan faktor utama sumber penghidupan dan penghidupannya mayoritas rakyat " Petani" untuk itu harus diperdayakan agar tujuan kemakmuran rakyat tercapai. Petani merupakan Tolok ukur keberhasilan dan tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia. Pemberdayaan Rakyat dalam konsepsi politik hukum agraria ini tampak dengan jelas dalam Undang – Undang No. 5 tahun 1960 tentang Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang lebih dikenal Undang-Undang Pokok Agraria ( UUPA ). Program-program Landreform adalah salah satu aktualisasi dari perombakan struktur pemilikan dan penguasaan tanah ( Budi Harsono, 1996 : hal 287-288). Dengan kata lain UUPA merupakan instrumen hukum untuk mewujudkan struktur sosial yang lebih adil yang menghasilkan kemakmuran dan keadilan sosial ( Nur Fauzi dkk, 2000 : hal XIX ).
Sebuah hipotesa Perubahan atau pergeseran politik berpengaruh pada perubahan hukum, karena politik hukum pada hakekatnya merupakan artikulasi perkembangan aspirasi masyarakat. Aspirasi dan tuntutannya merupakan basis materiil dari politik hukum ( Margarito Kamis, 2000 : 5 ) akan tetapi bisa juga disebabkan oleh karena kebutuhan dari suatu kekuasaan. Perubahan / Pergeseran politik hukum agraria menjadi siginifikan terlihat dari pranata-pranata yang dikeluarkan dan konflik yang muncul. Undang-Undang Pokok Agraria ( UUPA ) sebagai perwujudan dari Ideologi kerakyatan yang bersifat ( neo) populistis (Endang Suhendar dan Ifdhal Kasim, 1996: hal 17) bila dicermati maka konflik yang ada / timbul mempunyai sifat horisontal, antara rakyat dengan rakyat. Dalam wacana paradigma baru bersifat kapitalistis maka konflik yang timbul bersifat vertikal, terjadi antara rakyat " petani" berhadapan dengan pemilik modal dalam negeri atau asing yang beraliansi strategis dan taktis dengan penguasa atau rakyat berhadapan langsung dengan pemerintah. Distorsi ketidak kesepamahaman yang komprehensip dalam interpretasi konsepsi politik hukum agraria dan tujuannya dapat dilihat dari Undang-undang No. 1 tahun 1967 tentang penanaman Modal asing, Undang-Undang No. 11 tahun 1967 tentang pengusahaan pertambangan dan Undang- Undang No. 5 tahun 1967 tentang Kehutanan. Kondisi semacam ini terimplikasi pada penanganan permasalahan yang muncul tidak tertangani secara komprehensip hanya bersifat parsial atau sektoral. Bagaimana penyelesaian tanah diperkotaan, persoalan tanah terlantar yang dikuasai pengembang ( Developer), disisi lain bagaimana dengan hutan yang belum dieksploitasi oleh pengusaha hutan dan tanah yang diklaim masyarakat adat dan ulayat.
Undang-Undang No. 5 tahun 1960 merupakan produk politik hukum Agraria nasional yang lahir sarat dengan wacana historikal dan penempati posisi yang trategis dalam mewujudkan kesejahteraan, keadilan dan kesejahteraan rakyat dalam bingkai negara kesatuan Indonesia. Pasal- pasal dalam UUPA tampak jelas merupakan aktualisasi konsepsi filsafat – religius dari pasal 33 ayat 3 UUD'45 dimana Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa untuk bangsa Indonesia, yang dipergunakan bagi sebesar-besarnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia. dalam konteks inilah UUPA merupakan payung bagi seluruh perundangan yang terkait dengan pengaturan di bidang keagrarian Nasional. Memang UUPA dimaksudkan sebagai landasan seluruh program-program baru perundangan Agraria dan untuk menyelaraskan situasi Agraria dan falsafah Indonesia modern ( Karl J. Pelzer, 1991:62). Wacana yang menarik saat ini terjadinya polemik konsep menguasai Negara sentralistik dan pendelegasian wewenang dalam pengaturan keagrariaan dalam rangka Otonomi Daerah. Akibat adanya perbedaan pentafsiran, pemahaman dan kepentingan memunculkan arogansi sektoral, diperparah adanya benturan kontruksi hukum antara kedua produk hukum tersebut. Tanah identik dengan komoditi ekonomi yang menjanjikan sebagai sumber pemasukan keuangan daerah sekaligus merupakan ancaman konflik horisontal dan vertikal bahkan mengakibatkan disintegrasi bangsa jika tidak dikelola secara hati-hati.
Dan sekarang sudah terjadi. Sebagai ilustrasi menarik bagaimana jadinya seandainya kabupaten Kerawang mengubah tanah pertanian menjadi Industri, maka dapat dibayangkan Indonesia akan menjadi negara pengimport beras terbesar didunia. Berbagai persoalan itulah memunculkan pertanyaan tentang eksistensi UUPA. Ada sementara yang berpendapat UUPA perlu diamandir / revisi atau reformulasi ulang, karena sudah tidak bisa perespon perkembangan saat ini. Sebaliknya ada pula yang berpendapat masih responsif, justru persoalannya terletak pada kebijakan politik hukum yang dikeluarkan sebagai pelaksana UUPA yang menimbulkan masalah.
B. SEJARAH HUKUM AGRARIA
Secara historis, di negeri-negeri bekas kolonial seperti Indonesia, hukum formal merupakan perangkat yang pernah dipakai oleh pemerintah kolonial untuk mengetatkan daya cengkeram mereka atas pribumi dan sumber daya alam yang dikuasai pribumi. Hukum kolonial tersebut, masih terus dipakai hingga kini, tidak hanya substansinya tetapi juga seringkali spiritnya yang menindas dan mengeksploitasi. Karena itu, pembaruan hukum dalam konteks negara post-kolonial seperti Indonesia, tak pelak lagi berhadapan dengan segala infrastruktur hukum yang memang dicangkokan (legal transplantation) mendekati utuh dari negeri Belanda. Tanpa proses reflektif yang lebih dalam untuk memeriksa ulang warisan-warisan Belanda tersebut, pemerintah tetap mengikuti warisan-warisan itu secara serampangan. Pada titik ini, persoalan lain segera menunggu. Hukum yang dicangkokan buta terhadap realitas sosial, sehingga ketika diterapkan, seringkali menjadi akar kekerasan struktural yang menghantam dengan keras hak-hak masyarakat lokal yang bernaung di bawah kekuatan hukum lokal. Inilah salah satu masalah yang terus diwariskan dalam tradisi hukum Indonesia. Transplantansi secara etimologis berarti pencangkokan. Dalam konteks hukum, transplantasi berawal dari warisan hukum kolonial di negara-negara bekas jajahan dimana, hukum-hukum itu serta merta digunakan sebagai bagian dari hukum negara merdeka. Tetapi penggunaan tersebut menyimpan persoalan kontekstualisasi hukum yang seringkali berbeda antara negara tempat bersemainya pemikiran, azas dan rumusan-rumusan hukum dengan tempat penggunaannya. Selanjutnya, seperti lingkaran setan, negara-negara bekas kolonial terjebak kesulitan serius untuk melepaskan diri dari hukum kolonial karena senantiasa diproduksi dan direproduksi ulang dalam hukum-hukum lain di level makro maupun peraturan-peraturan dan lembaga pelaksana (Wignjosoebroto, 2002).
Tulisan ini mencoba untuk melihat warisan tersebut dalam substansi peraturan agraria (bumi, air dan ruang angkasa) dan Sumber Daya Alam (pertambangan, hutan, tanah, pesisir, laut, daerah aliran sungai, dll) terutama untuk memeriksa bagaimana dan apa konsekuensi warisan tersebut ketika bertemu dengan hukum-hukum lokal yang berbasis pada identitas lokal masyarakat adat. Uraian akan berawal dari persoalan transplantasi substansi hukum agraria yang menimbulkan persoalan dalam hukum dan juga konflik lapangan. Dua persoalan ini akan diperiksa lebih luas dalam gagasan-gagasan hukum yang memperlihatkan bahwa masalah transplantasi hukum tidak hanya persoalan asimestris konsep hukum barat dalam konteks Indonesia tetapi juga pada gagasan, pengetahuan dan sejarah yang membingkainya.
Transplantasi Hukum Agraria Dalam banyak studi tentang warisan kolonial hukum agraria (Alam dan Fitryawan [peny], 2005: 138), (Fauzi, 2003: 17-36), (Lynch dan Harwell, 2002: 19-43) sekurang-kurangnya, ada dua warisan besar substansi hukum agraria kolonial Belanda ke dalam hukum Indonesia masa kini: pertama, domein verklaring yang direproduksi lewat konsep Hak Menguasai Negara (HMN) dalam UUPA. Disana negara memiliki tiga kewenangan pokok, yakni: (1) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan sumber-sumber agraria; (2) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; (3) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Secara atributif, HMN dapat dikuasakan kepada pemerintah, masyarakat hukum adat dan daerah-daerah swatantra, sehingga HMN bisa diterjemahkan sebagai hak ulayat masyarakat adat yang berada pada level lokal. Namun, dalam berbagai undang-undang sektoral, konsep HMN menyempit. UU Kehutanan menyebut HMN memberi wewenang kepada pemerintah, secara khusus Menteri Kehutanan untuk menjalankan kewenangan (1) mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; (2) menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan (3) mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan. UU sumber daya air juga memberi kewenangan penyeleggaraan penguasaan air kepada pemerintah/pemerintah daerah. Peta kecenderungan HMN ini, meski terlalu simplistis, paling tidak memperlihatkan bahwa posisi masyarakat adat yang diatur secara setara dengan pemerintah dalam rezim UUPA, nampaknya ditelikung menjadi relasi yang subordinat dengan pemerintah. Ketimpangan relasi diikuti dengan mengecilnya hubungan masyarakat adat dengan sumber-sumber agraria. UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Sumber Daya Air mensyaratkan pengakuan hukum sebagai basis legal sebelum masyarakat adat memiliki akses terhadap agraria dan sumber daya alam. Dalam hal ini, ada dua bentuk pengembangan baru atas rezim HMN, yakni: (1) untuk memperoleh haknya sebagai masyarakat adat, berbagai undang-undang ini mensyaratkan adanya pengakuan hukum yang diikuti oleh perangkat prosedur sebagai konsekuensi hukum untuk memastikan ukuran, tahapan dan standar hukum yang sedapat mungkin seragam sifatnya. (2) Hak penguasaan adat yang selevel dengan HMN dalam rezim UUPA dikurangi menjadi hak berbasis rezim perijinan. Disana, untuk mendapatkan hak tertentu atas hutan, masyarakat adat harus mengikuti sejumlah prosedur tertentu. Persoalannya menjadi lebih rumit karena untuk mendapatkan hak memanfaatkan hasil hutan, masyarakat (hukum) adat harus melalui tahapan yang berlapis. Menurut temuan Rikardo Simarmata, setidaknya ada tiga langkah yang harus ditempuh yakni (1) harus diakui keberadaannya oleh pemerintah provinsi; (2) areal hutan adatnya harus ditetapkan oleh Menteri Kehutanan; (3) Menteri/Gubernur/Bupati/Walikota memberikan ijin pemanfaatan hasil hutan. Tahapan-tahapan tersebut, demikian rumitnya (birokratis, tidak ramah, high cost), sehingga hampir-hampir sulit ditempuh oleh masyarakat adat yang tidak terbiasa dengan prosedur formal (Simarmata, 2006: 316-317). Dalam hal ini, hukum negara sudah tidak lagi mengakui rezim penguasaan adat karena dengan menempatkannya dalam rezim perijinan, segera tertera implikasi konsep perijinan bahwa hak tradisional adat adalah sesuatu yang dilarang atau tidak boleh dikerjakan tapi atas ijin pejabat yang berwenang, penguasaan tersebut boleh dikerjakan dengan membayar pajak, sebagai syaratnya.
kedua, UUPA mewarisi rezim property rights hukum Barat, seperti pembagian jenis hak dalam pasal 16 maupun berbagai jenis hak lainnya dalam berbagai UU sektoral tetapi juga dalam prakteknya diterapkan di atas wilayah-wilayah tradisional yang tidak mengenal rezim hak tersebut. Sejumlah studi-studi empirik memperlihatkan bahwa ada perbedaan yang sangat nyata antara hak kategoris dan hak konkrit. Hak kategoris adalah konsep hukum yang membentuk hubungan umum hak antara kategori individu atau kelompok dengan kategori sumber daya. Contoh, kategori kepemilikan, hak pengusahaan hutan, hak guna usaha, hak pengelolaan, hak pakai. Hak kategoris mencakup aturan-aturan dan prinsip-prinsip umum yang diungkapkan dalam istilah-istilah umum dimana tanah, air dan secara mudah diperoleh, dipindahkan maupun dialihkan. Hak konkrit, sebaliknya, hubungan hak dibentuk antara orang atau kelompok konkrit dengan sumber daya konkrit, dimana kriteria hukum dari kategori hak, hadir dalam hubungan sosial yang konkret (Franz dan Keebet von Benda-Beckmann, 2001: 37-40). Dalam konteks ini, hak privat yang diagung-agungkan dan ditulis ulang dalam UUPA, seringkali tidak kompatibel dengan kondisi empirik dalam hubungan hak di Indonesia. Di masyarakat Kayan, Limbai dan Punan, misalnya, tidak begitu tegas pembedaan antara kawasan milik perorangan dengan hak orang lain untuk memanfaatkan sumber daya di kawasan tersebut. Prinsip penguasaan lahan hutan berdasarkan siapa yang membuka hutan pertama kali, tetapi orang luar, dalam arti sesama rumah panjang, desa/dusun atau sesuku, boleh memakai asalkan minta ijin terlebih dahulu (Fauzi dan Nurjaya, 2000: 155-156).
Transplantasi dan Konflik Agraria Transplantasi hukum agraria, baik konsep, azas hingga isinya memang menimbulkan jurang ketimpangan yang lebar dan dalam, terutama antara apa yang tertera dalam teks hukum dengan kenyataan di lapangan. Pasal-pasal hukum warisan kolonial yang dipertahankan secara ketat, selain menimbulkan pertanyaan kontekstualisasi hukum, juga menyumbang pada runyamnya persoalan agraria di lapangan. Tumpang tindih klaim berbasis hukum yang berbeda-beda dan manipulasi regim properti barat yang haus akumulasi modal menimbulkan konflik lapangan yang berujung pada sejumlah korban. Pemerintah berbasis hak menguasai negara, secara sepihak mengeluarkan ijin di atas kawasan yang sudah dihuni dan dimiliki oleh masyarakat lokal/adat.
Dalam catatan KPA, misalnya, sepanjang 2007, terjadi peningkatan kekerasan terhadap petani. Setidaknya ada 80 kasus konflik agraria struktural di seluruh Indonesia. Mayoritas konflik agraria ini terjadi di sektor perkebunan dan kehutanan. Tanah yang dipersengketakan 163.714,6 hektare yang melibatkan 36.656 KK, dan 10.958 KK diantaranya dipaksa keluar dari lahan sengketa. Akibat konflik agraria sepanjang 2007 ini, tercatat 9 orang kehilangan nyawa; 1 polisi, 2 satpam dan 6 warga. Selain itu, sebanyak 255 orang ditahan polisi, yang 129 di antaranya disiksa dan beberapa mengalami cacat, serta 208 rumah rakyat dibakar (KPA, 2007). Data ini melengkapi catatan konflik agraria struktural KPA yang merekam 1753 konflik agraria dalam periode 1970-2001 dimana cakupan luas tanah yang dipersengketakan tidak kurang dari 10.892.203 hektar dan mengakibatkan 1.189.482 keluarga menjadi korban (Kompas, 25 Juni 2004). Sementara menurut Data BPN, hingga 2007, terdapat 2810 konflik agraria skala besar (Kompas, 30 Juni 2007). Di bidang kehutanan, pemberlakuan UU No 41 Tahun 1999 tidak banyak mengubah regim penguasaan negara dalam undang-undang sebelumnya (UU No 5/1967), sehingga memicu sejumlah konflik serius, dimana masyarakat adat maupun masyarakat lokal lainnya, sekali lagi menjadi korban. Misalnya, pada tanggal 10 Maret 2004, di Kabupaten Manggarai, NTT, empat orang warga kampung Tangkul-Colol tewas ditembak Polisi, karena memprotes penahanan warga mereka yang dituduh merambah kawasan hutan lindung. Pemerintah daerah setempat juga menebang habis kopi petani karena menganggap kawasan produktif yang dikelolah petani tersebut, berada di areal hutan lindung.
Transplantasi dan Politik Hukum Masalah-masalah agraria yang dipicu oleh pengabaian hukum negara terhadap klaim-klaim hukum lokal atas sumber-sumber agraria dan sumber daya alam memperlihatkan regim pemikiran hukum yang berbeda-beda. Pemeriksaan lebih mendalam secara historis menunjukan bahwa kategori-kategori hukum barat yang dipaksakan secara semena-mena untuk konteks Indonesia, berawal dari tradisi pemikiran hukum modern yang mengalir secara kuat dan mempengaruhi pemikiran hukum Eropa. Hukum modern percaya bahwa kekuatan rasio berlaku universal dan menjadi alat utama penemuan kebenaran yang sifatnya universal. Keyakinan ini menolak pandangan hukum alam bahwa kebenaran juga dapat dicapai melalui universalitas nilai tertentu, termasuk pilihan moral. Prinsip-prinsip rasionalitas hukum modern yang mengacu pada atau bersumber dari metodologi pengetahuan barat mengadopsi hampir keseluruhan konteks sosial masyarakat barat. Karena itu, di tempat kelahirannya, hukum modern tidak begitu menimbulkan pertentangan nilai. Dalam konsep kodifikasi, misalnya, nampak benar hubungan yang kompatibel antara kepentingan norma sosial masyarakat lokal dengan hukum negara modern (Wignjosoebroto, 2002).
Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, dalam sejarahnya di Eropa, khususnya Prancis, kodifikasi ditujukan kepada hukum-hukum yang pada substansi dan esensinya tidak berbeda jauh dengan kaidah-kaidah lokal. Ketika Napoleon mengundangkan ketiga kitab hukum pada awal abad 19 di Perancis, misalnya, isi ketiga kodifikasi tersebut sebenarnya tidak lain dari hasil perekaman kembali kaidah-kaidah sosial yang secara de facto telah berlaku dan dianut oleh masyarakat-masyarakat lokal di negeri itu (Wignjosoebroto, 2006). Dalam hal itu, hukum Perancis memberi tempat istimewa bagi pluralisme sosial yang eksis di negeri itu. Hukum negara tidak menjadi batu sandungan bagi tertib hukum lokal dan juga sebaliknya, hukum lokal mendukung dan bahkan menjadi isi dari hukum negara.
Namun, masalah hukum modern segera nampak dalam sejumlah penerapannya di negeri-negeri lain, termasuk negeri jajahan. Di Jerman, terjadi penolakan serius dari sejumlah ilmuwan hukum Jerman yang sering dikenal sebagai Mazhab Sejarah (Historical Jurisprudence). Karl von Savigny yang merupakan proponen penolakan tersebut mengajukan tesis yang sangat terkenal hingga sekarang, “das recht wird nicht gemacht, es ist und wird mit dem volke (hukum itu tidak dibuat, melainkan ada dan tumbuh bersama bangsa, rakyat atau masyarakat)”. Pemikiran utama Savigny dan para pengikutnya, mengandung tiga hal pokok: pertama, hukum itu ditemukan, bukan dibuat. Pertumbuhan hukum pada hakekatnya adalah proses yang tidak disadari dan organis, maka peraturan perundang-undangan tidak lebih penting dibandingkan dengan kebiasaan (custom); kedua, hukum yang mulai tumbuh sebagai hubungan hukum yang sudah dipahami dalam masyarakat-masyarakat primitif ke arah hukum yang lebih kompleks dalam peradaban modern, menyebabkan kesadaran hukum rakyat tak dapat lagi menjelma secara langsung tetapi diwakili oleh sarjana hukum yang merumuskan prinsip-prinsip hukum secara teknis. Tetapi Sarjana Hukum tetap merupakan alat kesadaran masyarakat yang memberikan bentuk bagi bahan-bahan mentah yang disediakan oleh masyarakat. Pembentukan undang-undang merupakan taraf terakhir dan karena itu sarjana hukum secara relatif merupakan sarana pembentuk hukum yang lebih penting daripada legislasi. Ketiga, hukum-hukum tidak lah mempunyai daya laku universal. Tiap bangsa mengembangkan kebiasaan hukumnya sendiri sebagaimana yang mereka lakukan dalam bidang bahasa, tingkah laku dan konstitusinya sendiri-sendiri. Dalam hal ini, Savigny percaya bahwa volkgeist (jiwa bangsa) menjelmakan dirinya pada hukum rakyat (Purbacaraka dan Ali, 1990: 21-22). Dalam konteks Indonesia, model kodifikasi diteruskan oleh Belanda ke dalam sistem hukum di Hindia Belanda, untuk tiga kitab yakni pidana, perdata dan dagang. Perdebatan muncul ketika pemerintah kolonial berniat menerapkan kodifikasi hukum Eropa ke semua golongan penduduk di Indonesia. Kelompok Uttrecht mendukung gagasan itu. Sementara kelompok Leiden yang diwakili van Vollenhoven menjadi pendukung keberadaan hukum adat dan hingga sekarang dikenang sebagai bapak hukum adat. Menanggapi upaya penerapan peraturan kolonial yang terkodifikasi atas pribumi, van Vollenhoven menyatakan hukum untuk orang Indonesia adalah hukum yang hidup dalam bangsa Indonesia (Rahardjo, 2004: 26-27). Hukum untuk orang Indonesia adalah urusan yang merupakan batin atau jiwa orang Indonesia. Sehingga, hukum yang paling cocok untuk orang Indonesia adalah hukum mereka sendiri, dalam hal ini hukum adat yang telah menjiwai perilaku mereka sebagai orang Indonesia. Ide dualisme ini diterima hingga kini dan secara moral lazim dipertahankan sebagai gagasan yang berpihak pada Indonesia.
Secara kelembagaan, pemerintah kolonial memang cenderung memberi kesempatan pluralitas struktur pemerintahan berbasis model-model kelembagaan lokal. Melalui IGO (Inlandshe Gemeente Ordonantie), Staatsblad 1906 No 83, pemerintah Belanda mengakui Pemerintahan Desa di Jawa dan Madura dan IGOB (Inlandshe Gemeente Ordonantie Biutengewsten) Staatsblad 1938, No 490 yang mengakui struktur pemerintahan adat di sepuluh wilayah di luar Jawa-Madura. Karena itu, di era Kolonial Belanda, pemerintah tidak berusaha menciptakan struktur baru bagi masyarakat desa, tetapi memberikan pengakuan hukum terhadap struktur pemerintahan adat di pedesaan (Zakaria, 2000).
Namun, dualisme hukum warisan jaman van Vollenhoven nampaknya bersifat ambigu. Di satu sisi, secara hukum tersurat adanya pengakuan tetapi sebagian besar kajian politik menunjukan bahwa pemerintah Hindia Belanda tidak pernah berkehendak melindungi masyarakat adat. Sebagaimana dikatakan Dan Lev:
Sejak permulaan, pihak kompeni (VOC) berketetapan menghormati hukum lokal – cara lain untuk mengatakan bahwa pada umumnya mereka tidak dapat mengesampingkannya – kecuali bila kepentingan dagang jadi taruhan. Hal yang tidak mereka hormati dan ambisi mereka pun cenderung tidak menghormatinya, adalah hubungan-hubungan ekonomi dan politik yang selamanya merupakan sumber pokok hukum lokal (Lev, 1990).
Dalam konteks agraria, promosi hukum barat menjelma dalam sertifakt-sertifikat tanah yang tidak terjangkau oleh hukum-hukum adat. Domein Verklaring atau pernyataan tanah negara lewat Agrarische Besluit yang melaksanakan Agrariche Wet tahun 1870 dan Bosch Ordonantie (Peraturan Pelaksana Tentang Kehutanan) tahun 1920, menggusur hukum adat yang tidak memiliki bukti formal, sekaligus memperlihatkan karakter kolonial yang sesungguhnya; bahwa pengakuan atas hukum adat adalah bagian dari upaya preservasi agar masyarakat adat tidak memiliki peluang dan kesempatan untuk mengklaim hak-hak yang setara, sebagaimana tertuang dalam semangat hukum liberal. Dengan demikian, di atas tanah-tanah masyarakat adat, hukum barat secara bebas diterapkan karena kawasan-kawasan tersebut sudah sejak dini ditetapkan sebagai kawasan negara. Struktur-struktur adat pun diakui tetapi sekaligus dimanfaatkan untuk kepentingan kolonial, dimana menunjuk struktur pribumi adalah kecerdikan politik yang canggih karena kekuatan kontrol kolonial melebur masuk jauh ke relung-relung ketaatan tradisional warga adat kepada tetua mereka (Zakaria, 2000, McCarthy, 2001). Pasca kemerdekaan, tanpa banyak membicarakan konteks lokal yang beragam, pemerintah Indonesia meneruskan ambiguisitas kebijakan kolonial dengan mengakui bagian tertentu dari hukum adat, seperti perkawinan dan waris, yang nampaknya tidak langsung bersentuhan dengan sumber-sumber ekonomi pemerintah.
Tetapi pada wilayah produktif seperti sumber daya alam, hukum Eropa dipaksakan secara arbitrer ke tengah berbagai komunitas di Indonesia melalui imperium HMN, sehingga dalam banyak fakta telah memicu api konflik antara agen-agen pemerintah dengan komunitas hukum lokal (Moniaga, 2007: 275-276).
Berbagai Pendekatan dan Konsep Baru Era pasca reformasi, pendekatan-pendekatan dan konsep-konsep baru dalam melihat hukum mulai bermunculan, antara lain sampai pada beberapa tesis, bahwa berbagai wilayah sosial memang memproduksi tatanan hukum yang plural dengan latar belakang konteks yang berbeda-beda. Argumen ini tidak hanya bersifat antropologis tetapi juga mengakomodasi hak masyarakat adat/lokal yang dalam kerangka hukum Internasional dimasukan sebagai bagian dari hak asasi manusia. Karena itu, pluralisme hukum menyangkal sentralisme hukum yang tidak hanya memperkenalkan dan memaksakan berlakunya hukum negara atas situasi hukum konkrit tetapi juga telah mengingkari hak-hak masyarakat adat/lokal. Dalam suatu uraian yang padat, Griffiths menjelaskan sebagai berikut:
Pluralisme hukum adalah sesuatu yang ada di segala situasi, merupakan sesuatu yang berlaku umum dalam kehidupan masyarakat, dimana setiap hukum dan institusi hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat tidak tergabung dalam atau bersumber pada satu sistem tetapi bersumber pada tiap aktivitas pengaturan diri sendiri yang ada pada berbagai wilayah sosial yang beragam. Aktivitas tersebut dapat saling mendukung, melengkapi, mengabaikan atau mengacaukan satu dengan yang lain, sehingga “hukum” yang efektif secara nyata dalam masyarakat adalah hasil dari proses kompetisi, interaksi, negosiasi dan isolasi yang bersifat kompleks dan tidak dapat diprediksi (Griffiths, 2006: 69-118)
Dalam konteks perubahan sosial hukum, pluralisme hukum bisa digunakan sebagai konsep yang bisa menjelaskan sekaligus dipakai untuk memberi ruang bagi hukum lokal. Pluralisme hukum memberi jalan bagi hukum masyarakat adat untuk bertemu dengan banyak hukum lain, tanpa harus didominasi dan dipreteli dengan berbagai syarat yang ditetapkan secara semena-mena oleh hukum negara. Karena itu, berbagai upaya untuk memperkuat dan meneguhkan kembali hukum-hukum lokal atau membentuk hukum-hukum baru, diperjuangkan oleh banyak komunitas, paling tidak sebagai salah satu cara untuk mendapat legitimasi atas hak mereka yang telah dirampas di masa lalu dengan menggunakan hukum negara.
Namun, upaya-upaya itu masih berhadapan dan juga menimbulkan tantangan politik tersendiri. Pertama-tama, berbagai cita-cita unifikasi hukum sudah berkali-kali tertuang dalam rencana pembangunan hukum nasional. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2004-2009, persoalan pluralisme hukum, tidak dilihat sebagai masalah serius dalam pelaksanaan dan penegakan hukum negara. Artinya, politik hukum negara memang lebih berminat untuk memaksakan penggunaan hukum yang satu dan sama dari Sabang sampai Merauke atau unifikasi hukum, daripada membuka diri untuk berdialog dengan hukum-hukum lokal untuk menentukan batas, syarat dan negosiasi lainnya yang berhubungan dengan hukum negara-hukum lokal. Dalam hal ini, negara Indonesia merdeka sebetulnya tidak berbeda jauh dengan periode kolonial Hindia Belanda. Bahkan dalam hal tertentu periode Indonesia Merdeka bisa dikatakan sebagai langkah mundur dari era Kolonial Belanda, karena Pemerintah Kolonial Belanda masih mengakui struktur-struktur adat dan dinamika-dinamika hukumnya, meski pengakuan itu bergerak dalam ruang ekonomi politik kolonial. Kedua, komunitas hukum lokal juga sangat majemuk dan dibarengi dengan perubahan-perubahan sosial yang cukup cepat. Kesulitan tetapnya adalah dalam situasi mana dan dengan definisi serta kategori mana saja, suatu kelompok bisa mengklaim haknya berbasis keistimewaan historis-genealogis sebagai masyarakat adat. Persoalannya makin pelik karena pertikaian dalam wacana antropologis juga marak dalam pertarungan politik, dalam arti politik untuk kekuasaan. Disini, hubungan-hubungan patron lama dimasak ulang untuk mereproduksi kekuasaan dalam hubungan-hubungan politik baru dalam berbagai perubahan politik. Di tingkat lokal, kehadiran otonomi daerah selain berdampak pada ambisi ekonomi politik, juga mempunyai beberapa akibat politik tidak sehat, antara lain karena konstelasi tradisional masyarakat politik Indonesia memang berkawan dekat dengan feodalisme. Gambaran itu makin jelas dalam kecenderungan respons daerah (otonomi daerah) yang diselimuti oleh primordialisme kesukubangsaan. Tatanan kehidupan paternalistiknya pun tetap bertahan (Suparlan, 2001). Setidaknya, dua tantangan politik ini juga bisa dikerjakan dalam diskusi pluralisme hukum. Definisi, peran dan tugas negara perlu dibicarakan ulang, sebelum mendorong pluralisme hukum sebagai kebijakan politik. Sepanjang politik hukum yang dibayangkan adalah unifikasi hukum maka sepanjang itu pula tidak akan ada pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat/lokal yang berbasis hukum lokal. Di sisi lain, pluralisme hukum, juga perlu mendiskusikan persoalan ketimpangan struktural dalam hukum-hukum lokal. Disana, hubungannya dengan hak asasi manusia tidak hanya penting tetapi harus dikerjakan. Dalam hal ini, prinsip-prinsip makro perlu mempertemukan berbagai isu-isu analitis dari perspektif antropologi dengan kebutuhan normatif dari perspektif hukum.
C. KESIMPULAN MAKALAH
Nampaknya, mendiskusikan gagasan pembaruan hukum agraria untuk menjawab persoalan-persoalan lokal hanya bisa dimulai dari level lokal. Dalam kajian pluralisme hukum pun, situasi-situasi lokal yang tidak didahului dengan pengandaian-pengandaian normatif hukum negara, jauh lebih menggiurkan secara analitis dan deskriptif. Namun, lebih dari itu, membawa diskusi-diskusi gagasan hukum ke level lokal adalah bagian dari upaya menemukan jawaban yang lebih dekat ke realitas di lapangan. Karena itu, studi-studi lapangan yang memotret dan menganalisa aktor, interaksi antaraktor, faktor-faktor sosial yang mempengaruhi, sangat penting dalam memetakan dan mencari solusi yang relatif tepat untuk penyelesaian konflik agraria. Dalam kaitannya dengan konsep pluralisme hukum, membawa isu agraria ke konteks lokal merupakan bagian dari upaya untuk memotret hubungan hukum yang kompleks dan konkrit yang merupakan penentu yang riil atas persoalan-persoalan agraria. Rekomendasi-rekomendasi konkrit pun tepat dipakai dalam level konkrit yang bisa jadi sifatnya kasuistik.
Tetapi, patut dicatat, penyelesaian konkrit yang bertumpu pada pemahaman mikro yang kompleks, sangat membutuhkan energi yang lebih besar karena konflik agraria telah meluas dan menyebar hampir di semua wilayah pedesaan. Dalam hal ini, pembahasan atas hubungan hukum negara-hukum lokal di level makro tetap diperlukan terutama untuk melihat norma, konsep dan konstruksi hukum serta ideologi yang diandaikan di dalam sistem hukum (Keebet von Benda-Beckmann, 2006: 29-30). Menentukan pola-pola hubungan agraria di level makro, paling tidak memberi panduan umum bagi penataan hubungan-hubungan hukum agraria yang selama ini seringkali dipakai hanya untuk mendukung ideologi dan konstruksi kepentingan sekelompok orang tertentu. Disini, pendekatan mikro yang menelisik situasi konkrit juga bisa diartikulasikan ke level makro agar memberi kontribusi bagi pembentukan hubungan hukum baru yang menata ulang struktur-struktur agraria yang timpang di masa lalu.
Masalah-masalah transplantansi hukum dalam pembaruan hukum agraria bisa segera diperiksa lagi dan seharusnya agraria segera direspons dalam konteks makro dan mikro. Dalam konteks makro, transplantasi dikerjakan ulang dengan berbasis pada apa yang menjadi tuntutan dalam level mikro. Sehingga, bukan lagi transplantasi tetapi pilihan sadar bahwa kebutuhan di level mikro memang meminta dukungan nilai-nilai dari luar. Dalam hal itu, transplantasi bergeser menjadi transformasi.
D. REFERENSI PENULISAN
Alam, Rudi Harisyah dan Fitryawan, Agus (Peny), 2005, Dari Konflik Agraria ke Pengharapan Baru, Komnasham, Jakarta
Ali, Chaidir dan Purbacaraka, Purnadi, 1990, Disiplin Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung
Atmosudirjo, Prajudi, 1994, Hukum Administrasi Negara, cet ke 10, Ghalia Indonesia, Jakarta
Benda-Beckmann, Franz & Keebet von dan Juliette Koning, 2001, “Jaminan Sosial dan Manajemen Sumber Daya Alam”, dalam Benda Beckmann, Franz & Keebet von dan Juliette Koning (eds), 2001, Sumber Daya Alam dan Jaminan Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Benda-Beckmann, Keebet von, “Pluralisme Hukum, Sebuah Sketsa Genealogis dan Perdebatan Teoritis” dalam Tim HuMa, 2006, Pluralisme Hukum: Suatu Pendekatan Interdisiplin, HuMa, Jakarta
MAGISTER HUKUM
UNILA
2009

RELEVANSI NILAI-NILAI HAK DAN KEWAJIBAN

aRie IMTY | 23.12 | 0 komentar

RELEVANSI NILAI-NILAI HAK DAN KEWAJIBAN
FILSAFAT HUKUM DEWASA INI

A. PENDAHULUAN

Filsafat hukum adalah sebuah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis, jadi objek filsafat hukum adlaah hukum, dan objek tersebut dikaji secara mendalam sampai pada inti atau dasarnya, yang disebut dengan hakikat. Jika dilihat dari karakteristik berfikir filsafat hukum; Menyeluruh ( bahwa cara berpikir filsafat itu tidaklah sempit ,fragmatis dan sektoral, tetapi selalu melihat persoalan dari berbagai seginya. Mendasar (bahwa setiap segi persoalan dimaksud dianalisis secara mendalam dan sampai ke akar-akarnya, atau radikal dan revolusioner. Spekulatif ( bahwa pertanyaan-pertanyaan dalam filsafat itu seringkali berupa pertanyaan yang diluar jangkauan ilmu biasa. Sehingga nantinya peran filsafat hukum didalam mata rantai masyarakat tidak lagi abstrak.
Nilai-nilai hak dan kewajiban dalam filsafat hukum adalah nilai yang sangat fundamental. Secara yuridis pun diakui bahwa hak dan kewajiban warga negara indonesia dilindungi oleh undang-undang. Dalam universal declaration of human right dari PBB dijelaskan bahwa pengakuan hak martabat sebagai manusia. Hak dan kewajiban yang ada pada manusia diakibatkan adanya peraturan; yaitu hak yang berdasarkan undang-undang. Jika kita berbicara tentang Hak; hak-hak itu tidak langsung berhubungan dengan manusia, tetapi menjadi hak, sebab tertampungnya dalam undang-undang yang sah. Oleh karena itu hak-hak tersebut dapat dituntut didepan pengadilan. Kesadaran hukum baik menyangkut hak-hak dan kewajiban-kewajiban alamiah maupun hak-hak dan kewajiban-kewajiban menurut undang-undang yakni secara yuridis. Hukum menurut undang-undang sepantasnya dialami sebagai lanjutan dan konkretisasi hukum alamiah.
Dengan menyebut manusia menurut martabatnya dimaksudkan, bahwa manusia merupakan suatu mahluk yang istimewa yang tidak ada bandinganya di dunia. Keistimewaan ini nampak dalam pangkatnya, bobotnya, relasinya, fungsinya sebagai manusia, bukan sebagai manusia individual, melainkan sebagai anggota kelas manusia, yang berbeda dengan kelas tumbuh – tumbuhan dan binatang. Dalam arti universal ini semua manusia bernilai, tiap-tiap pribadi masing-masing. Sesusai dengan nilainya semua itu, manusia harus dihormati. Tetapi terdapat perbedaan pandangan tentang hak-hak mana yang sebenarnya merupakan hak manusia itu. Perbedaan pandangan itu bertalian dengan pertanyaan mengapa manusia bernilai, mengapa ia mahluk istimewa. Teori yang paling sering muncul dalam sejarah pikiran manusia ialah bahwa keistimewaan manusia (sebagai dasar hak-hak)terletak dalam wujud manusia sendiri, sebagaimana didapati olehnya melalui pikirannya. Maka keistimewaan manusia itu bersifat rasional. Buktinya adalah kesadaran semua orang akan hak-hak tertentu. Hak-hak yang didapati orang secara rasioanal. Dianggap bersifat abadi dan tetap berlaku. Tiap-tiap orang lain, termasuk pemerintah negara, harus mengindahkannya, dengan membuat hukum atas dasar hak –hak alamiah tersebut.

B. KONSEP BERPIKIR TENTANG FILSAFAT HUKUM BERKAITAN DENGAN HAK DAN KEWAJIBAN

Pada dasarnya manusia menghendaki dan memiliki rasa pertanggung jawaban besar terhadap hidupnya. Karena hati nurani manusia berfungsi sebagai index, ludex, dan vindex (Poedjawiyatna, 1978: 12). Proses reformasi menunjukkan bahwa hukum harus ditegakkan demi terwujudnya supremasi hukum dalam rangka menegakkan keadilan dan kebenaran demi tujuan hukum. Ketertiban, keamanan, ketentraman, kedamaian, keadilan, kebenaran dan kesejahteraan merupakan tujuan manusia dalam menuntut supremasi hukum, sehingga hak dan kewajiban sebagai manusia dapat terwujud dan terlindungi. Karena kedudukan manusia itu mempunyai nilai yang tinggi maka, nilai itu menjadi pangkal dan titik tolak seluruh sistem hukum, sebagai mana dikatakan Marcic ”Das princip, also der Anfang allen wirklichen Rechts, ist die unverliebare Menschen wiirde” (prinsip, dan karenanya pangkal segala hukum yang sejati ialah nilai manusia yang tak dapat hilang) (Marcic, 1971 :318).
Keadilan berkaitan erat dengan pendistribusian hak dan kewajiban, hak yang bersifat mendasar sebagai anugerah ilahi sesuai dengan hal asasinya yaitu hak yang dimiliki seseorang sejak lahir dan tidak dapat diganggu gugat.
Hak-hak manusia itu disebut hak hak azasi, oleh sebab itu mereka dianggap sebagi fundamen yang diatasnya seluruh organisasi hidup bersama harus dibangun. Hak-hak itu merupakan azas undang-undang. Namun perlu diperhatikan, bahwa apa yang dilarang secara moral belum tentu harus dilarang secara yuridis pula. Manusia telah membuktikan dirinya sebagai mahluk istimewa, dengan menaklukkan binatang pada dirinya dengan menjinakkanya. Keistimewaan itu terltak pada akal budi dan juga manusia merupakan sebagai subjek yang berhak diberlakukan sebagai tujuan tindakan-tindakan, sedangkan binatang tidak dapat diakui sebagi subjek moral. Berdasarkan pemikiran ini timbulah etika lingkungan yang antroposentris, yang berkisar pada kepentingan manusia saja. Dimana banyak sekali fenomena yang terjadi di dalam masyarakat ataupun dalam sistem pemerintahan di Indonesia ini. Dimana semua selalu menuntu hak nya, selalu ingin di istimewakan dan selalu ingin menang sendiri atas dasar kekuasaan yang dimilikinya. Hal ini sangat berpengaruh dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Karena jika melihat dalam situasi hukum, seseorang yang mampu, dan merasa kuat, nantinya akan dapat membuat bahkan membeli alat hukum tersebut. Sehingga hukum tersebut hanya sebuah aturan, dimana aturan-aturan tersebut dapat dirubah berdasarkan apa yang dia punya. Melihat banyaknya kasus yang terjadi di Indonesia, tentang kasus terbaru yang menimpa POLRI dan KPK, dimana terjadi kasus melibatkan intitusi-intitusi hukum di negara ini. Yang lebih ekstrim terbukanya MAFIA HUKUM dalam kasus ini. Apakah ini akibat dari hak dan kewajiban yang di tuntut secara luarbiasa tanpa menyisihkan nilai kewajiban yang hakiki sebagai warga negara yang taat hukum. Melawan etika lingkungan antroposentris ini pada zaman sekarang muncullah sebuah etika lain yang disebut etika biosentris. Dalam etika biosentris manusia dipandang sebagai anggota komunitas kehidupan, sebagai bagian integral sistem alam. Dewasa ini, perkembangan nilai-nilai fundamental filsafat hukum sudah tidak banyak relevansinya dalam berkehidupan hukum di indonesia ini. Apakah hal ini kesalahan sistem, aparat penegak hukum, atau dari masyarakat (sebagai pelaksana hukum)? Pertanya besar tersebut jelas sangat sulit untuk kita jawab dari satu sisi saja. Karena semua lini intitusi yang bergeraka dan berbaur dalam ranah hukum tersebut jelas sudah mempunyai kode-kode etik tersendiri akan hukum, yang jelas secara normatif sudah sesuai dengan hukum dan pertaturan yang ada. Tapi tidak bisa dipungkiri bahwa dalam prakteknya, kecurangan-kecurangan hukum masih banyak sekali di ranah hukum tersebut. Apakah ini peninggalan warisan dari zaman orde baru? Atau malah produk baru dari sistem reformasi itu sendiri. Yang jelas, ketika semua warga negara dan aparatur penegak hukum di Indonesia ini dapat dan mampu untuk mengerti dan menjalankan tatanan kehidupan berhukum dengan arif, kejadian-kejadian akan kecurangan hukum tersebut tidak akan terjadi dan akan musnah di inonesia ini.
Setiap hak dan kewajiban diselaraskan secara harmoni dalam hukum, berkehidupan, dan bernegara. Sehingga sistem yang berjalan dari arus pusat sampai ke bawah dapat berjalan seiring dan seirama. Dalam konsep berpikir filosofis, setiap warga negara berhak mendapatkan perlindungan jaminan kehidupannya oleh negara. Jadi apakah tindakan kita pada saat ini sudah berhak untuk menuntut hak-hak kita kepada negara, sedangkan kewajiban kita sebagai warga negara yang baik pun, belum pernah bisa konsekuen kita menjalankannya. Pemerintah telah membuat berbagai banyak program dalam 5tahun kedepan, yang tujuannya adalah untuk mensejahterakan warga negaranya, jadi sebagai warga negara yang baik, kita harus bisa mensukseskan program-program pemerintah tersebut demi pencapaian masyarakat yang adil dan sejahtera. Bukan menjadi warga negara penuntut, yang selalu mengkritik tanpa ada tindakan untuk membantu pemerintah dalam perbaikan sistem yang ada. Jika kita menilik sejarah terbentuknya NKRI, para pejuang berkorban jiwa dan raga untuk kemerdekaan bangsa indonesia. Untuk menjadi negara yang bebas dari belenggu penjajah yang mensengsarakan rakyat, dan untuk pencapaian cita-cita luhur bangsa yaitu bangsa yang berdaulat.
Kedaulatan tersebut berpegang pada kedaulatan rakyat, setelah sang proklamator membacakan teks proklamasi, maka momentum untuk membangun bangsa telah dimulai kearah bangsa yang lebih baik. Begitu banyak hak-hak dan kewajiban-kewajiban para pahlwan korbankan demi negara ini, tanpa di minta, tanpa di bayar, dengan tanpa pamrih ikhlas demi bangsa indonesia. Perenungan akan berdirinya bangsa indonesia ini hendaknya membuka mata hati kita para generasi muda bangsa saat ini, dan juga para pemegang pangku kekuasaan untuk dapat menjaga bangsa menjadi bangsa yang besar, bangsa yang mampu memberikan rasa aman, keadilan, kesejahteraan, dan kebebasan. Bagi kebanyakan pemikir, sistem terkadang digambarkan dalam 2 hal yaitu sebagai suatu wujud (entitas) yaitu sistem biasa dianggap sebagai suatu himpunan bagian yang saling berkaitan yang membentuk suatu keseluruhan yang rumit atau kompleks tetapi merupakan  satu kesatuan, atau yang kedua sistem mempunyai makna metodologik yang dikenal dengan pengertian umum pendekatan sistem (System Approach) yang pada dasarnya merupakan penerapan metode ilmiah didalam memecahkan suatu masalah atau menerapkan kebiasaan berfikir atau beranggapan bahwa ada banyak sebab terjadinya sesuatu didalam memandang atau menghadapi saling keterkaitan yang berusaha memahami adanya kerumitan didalam banyak benda sehingga terhindar dari memandangnya sebagai sesuatu yang amat sederhana.
Bila ditinjau kebelakang, dapat dilihat makna dari sistem itu sendiri yang diantaranya :
1. Sistem digunakan untuk menunjukkan suatu kesimpulan atau himpunan benda-benda yang disatukan  atau dipadukan oleh suatu bentuk saling ketergantungan yang teratur.
2. Sistem digunakan untuk menyebut alat-alat atau organ tubuh secara keseluruhan yang secara khusus memberikan andil atau sumbangan terhadap berfungsinya fungsi tubuh tertentu yang rumit tetapi vital.
3.  Sistem yang menunjukkan himpunan gagasan (ide) yang tersusun, terorganisir, suatu himpunan gagasan, prinsip, doktrin, hukum dan sebagainya yang membentuk satu kesatuan yang logik dan dikenal sebagai isi buah pikiran filsafat tertentu, agama atau bentuk pemerintahan tertentu.
Ciri-Ciri Sistem
Sistem memiliki ciri-ciri pokok yang luas dan bervariasi yang mana dijelaskan oleh beberapa ahli diantaranya sebagai berikut :
1.   Sistem itu bersifat terbuka atau pada umumnya bersifat terbuka. Dikatakan terbuka jika berinteraksi dengan lingkungannya dan sebaliknya dikatakan tertutup jika mengisolasikan diri dari pengaruh apapun. (Menurut Elias M. Awad).
2.   Sistem mempunyai tujuan sehingga perilaku kegiatannya mengarah pada tujuan tersebut/purposive behavioiur. (Menurut William A. Shrode & Dan Voich)
3.   Setiap sistem mempunyai batas yang memisahkannya dari lingkungan, tetapi walau sistem mempunyai batas tetapi bersifat terbuka. (Menurut Tatang M. Amirin).

Asumsi umum mengenai sistem mengartikan kepada kita secara langsung bahwa jenis sistem hukum telah ditegaskan lebih dari ketegasan yang dibutuhkan oleh sistem jenis manapun juga. Dimana sangat penting mempertimbangkan pandangan umum mengenai sistem dasar yang terdapat pada definisi-definisi dan jenis-jenis ideal yang dikemukakan dalam teori sistem secara umum. Dalam pelaksanaannya, para ahli hukum berharap dapat menemukan yang dimaksud dengan “sistematis”, yang mana diharapkan dapat menimbulkan sifat yang lazim dan bisa diciptakan bebas dari prasangka dan penyimpangan yang ditemukan pada beberapa perkembangan konsep yang berhubungan dengan suatu disiplin ilmu khusus. Alasan penyelidikan terhadap sistem teori umum adalah untuk memberikan semacam fokus kesadaran kita akan berbagai macam teori sistem hukum dan kebanyakan dari konsepsi-konsepsi sistem yang ditemukan pada sistem umum memperlihatkan inti dari ciri-ciri lazim yang digunakan dunia. Dari banyaknya pendapat yang muncul, hampir kesemuanya mengacu kepada 2 hal yakni hubungan-hubungan tersebut harus membentuk jaringan dimana setiap elemen saling terhubung baik langsung atau tak langsung, dan kedua adalah jaringan tersebut haruslah membentuk suatu pola untuk menhasilkan struktur pada suatu sistem.
Sehingga kenapa sistem yang telah berjalan di indonesia ini selalu gagal dalam pencapaian tujuan-tujuan bangsa. Sistem gagal dikarenakan bahwa masing-masing mencakup pembentukan sistem untuk menggabungkan prestasi dari banyak pemikiran dalam sistem itu, apakah untuk penciptaan peranan, muatan prinsip-prinsip atau fungsi dari lembaga-lembaga. Kebanyakan hanya untuk mengejar sasaran sehari-hari secara normal saja, tetapi hal ini tidak dapat mewakili cakupan aktivitas yang dihasilkan oleh pemikiran lain karena aktivitas tidak dapat dilambangkan sebagai sistematis walaupun banyak usaha untuk membuatnya jadi sistematik tetapi seperti yang dikatakan oleh Dewey, bahwa “bekerja atas fakta” baik dengan membuat sistem yang sesuai dengan fakta maupun dengan mengubah fakta hingga sesuai dengan sistem dan sebagaimana konsekuensi bahwa fakta itu sendiri tidak dipandang sebagai terorganisir dan sistematis. Hukum Indonesia banyak catatan untuk dikaji, salah satunya adalah menurut Satjipto Rahardjo. Mendefinisikan hukum adalah sebagai sebuah tatanan yang utuh (holistik) selalu bergerak baik secara evolutif maupun revolusioner. Sifat pergerakan itu merupakan sesuatu yang tidak dapat dihilangkan atau ditiadakan, tetapi sebagai sesuatu yang eksis dan prinsipil. Hukum bukanlah sekedar logika semata tetapi merupakan ilmu sebenarnya yang harus selalu dimaknai sehingga selalu up to date.
Pemikiran progresif menurut Beliau maksudnya adalah semacam refleksi dari perjalanan intelektualnya. Hukum bukanlah sebagai sebuah produk yang selesai ketika diundangkan atau hukum tidak selesai ketika tertera menjadi kalimat yang rapih dan bagus, tetapi melalui proses pemaknaan yang tidak pernah berhenti maka hukum akan menampilkan jati dirinya yaitu sebagai sebuah “ilmu”. Pada dasarnya ilmu adalah sebagai sesuatu yang terus bergeser, bergerak, berubah dan mengalir, demikian pula dengan ilmu hukum. Perubahan itu tentu saja dimaknai secara bervariasi oleh setiap orang yang mencermatinya, namun hakekat utamanya jelas bahwa lahirnya teori kuantum adalah penjelasan paling logis bahwa ilmu senantiasa berada di tepi garis yang labil.
Menurut Satjipto Rahardjo, teori pada dasarnya sangat ditentukan oleh bagaimana orang atau sebuah komunitas memandang apa yang disebut hukum, artinya apa yang sedang terjadi atau perubahan apa yang tengah terjadi dimana komunitas itu hidup sangat berpengaruh terhadap cara pandangnya tentang hukum.
C. KESIMPULAN
Sulit untuk menguraikan penyebab utama dari seluruh persoalan yang menimpa hukum di Indonesia, tidak saja bersangkut-paut dengan masalah substansial (produk hukum yang ketinggalan zaman), lebih dari itu penegakan dan komitmen moral yang lemah telah ikut menyebabkan banyaknya persoalan yang muncul. Tetapi, terlepas dari semuanya, kita harus menyadari bahwa persoalan yang terjadi saat ini bersifat akumulatif dan bervariasi, masalah tidak bergerak linier tetapi berputar-putar sehingga sulit mencari akar permasalahannya, saling terkait, tapi itulah sebuah konsekuensi yang harus ditanggung dari kondisi kehidupan hukum yang kumuh. Proses degradasinya hukum kedalam situasi yang paling ekstrim dari apa yang disebut dengan kehancuran atau kekacauan merupakan titik berangkat untuk menata, memperbaiki dan membangun kembali puing-puing hukum yang hancur, karena dari kondisi ini kita dapat menyusun asumsi-asumsi, menelaah kembali serta menyusun prioritas kebutuhan yang diperlukan untuk kepentingan pembangunan sehingga dengan jelas dapat ditentukan misi apa yang hendak dilakukan dalam pembangunan hukum kedepan, hukum seperti apa yang didambakan. Kita telah terlanjur terbiasa untuk memandang hukum sebagai suatu yang bersifat represif dan memandang konstitusi hanya sebagai wadah perjanjian persetujuan belaka sehingga kita mengabaikan kekuatan besar yang sebenarnya terkandung didalam konstitusi dan didalam setiap sistem hukum manapun yaitu kekuatan yang mampu memaksa hukum agar dapat diterima dan lestari hidup.
Agar sistem hukum dapat berjalan baik, ada empat gagasan menurut Parsons :
1. Masalah legitimasi (landasan bagi pentaatan kepada aturan).
2. Masalah interpretasi (penetapan hak dan kewajiban subjek hukum, melalui proses penerapan aturan tertentu).
3. Masalah sanksi (sanksi apa, bagaimana penerapannya dan siapa yang menerapkannya).
4. Masalah Yuridiksi (Penetapan garis kewenangan yang kuasa menegakkan norma hukum dan golongan apa yang hendak diatur oleh perangkat norma itu).
Namun harus dipahami bahwa sistem hukum akan berkaitan dengan sistem politik (khususnya mengenai yuridiksi) oleh karena itu meski secara analitis dapat dipisahkan, hal ini berkaitan dengan diletakkannya peradilan sebagai posisi sentral di dalam tertib hukum sedangkan perumusan kebijakan melalui badan legislatif sebagai inti kekuasaan politik.
Apabila berbicara mengenai proses yang tertuang dalam UUD 1945 yang terdiri dari beberapa alenia, maka dapatlah diambil kesimpulan bahwa yang terkandung didalam 4 alenia pembukaan tersebut adalah :
1. Pembukaan alenia pertama, secara substansial mengandung pokok pri keadilan, konsep pemikiran yang mengarah kepada kesempurnaan dalam menjalankan hukum didalam kehidupan.
2.  Pembukaan alenia kedua, adil dan makmur, merupakan implementasi dari tujuan hukum yang pada dasarnya yaitu memberikan kesejahteraan kepada masyarakat.
3. Pembukaan alenia ketiga, mengatur mengenai hubungan manusia denganTuhan atau penciptanya yang telah mengatur tatanan di dunia ini.
4. Pembukaan alenia keempat, mengenai lima sila dari Pancasila yang merupakan cerminan dari nilai-nilai bangsa yang diwariskan turun-temurun dan abstrak yang Pancasila merupakan kesatuan sistem yang berkaitan erat tidak dapat dipisahkan.
Itulah hakikat utama dari pemahaman dan pemaknaan holistik. Secara keilmuan pemahaman ini akan memberikan warna yang berbeda tentang apa yang kita pahami dan apa yang akan kita lakukan. Dan tidak semata-mata hanya berbicara tentang persoalan hukum negara tetapi lebih jauh memahami konteks yang realistis dari upaya pembangunan hukum yang lebih terarah.

D. DAFTAR PUSTAKA
Arief Sidharta, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2007
Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi lain dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta, 2003
Rasjidi, Filsafat, Jakarta, 1987
Referensi makalah dari beberapa sumber internet

POLITIK HUKUM PERUNDANG-UNDANGAN

aRie IMTY | 23.11 | 0 komentar

POLITIK HUKUM PERUNDANG-UNDANGAN
BIDANG POLITIK DI INDONESIA

A.   Pendahuluan
            Peraturan perundang-undangan merupakan bagian atausubsistem dari sistem hukum. Oleh karena itu, bila kita membahas mengenai politik peraturan perundang-undangan pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dari membahas mengenai politik hukum. Istilah politik hukum atau politik perundang-undangan didasarkan pada prinsip bahwa hukum atau peraturan perundang-undangan merupakan bagian dari suatu produk politik karena peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan rancangan atau hasil desain lembaga politik (body politic). Sedangkan pemahaman atau definisi dari politik hukum secara sederhana dapat diartikan sebagai arah kebijakan hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah. M. Mahfud MD mengemukakan bahwa politik hukum meliputi: Pertama; pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaharuan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan;
Kedua; pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum.
Sebagaimana telah disebutkan bahwa politik peraturan perundang-undangan merupakan bagian atau subsistem dari politik hukum, dengan demikian dapat dikatakan bahwa mempelajari atau memahami politik hukum pada dasarnya sama dengan memahami atau mempelajari politik perundang-undangan demikian pula sebaliknya, karena pemahaman dari politik hukum termasuk pula di dalamnya mencakup proses pembentukan dan pelaksanaan/penerapan hukum (salah satunya peraturan perundang-undangan) yang dapat menunjukkan sifat ke arah mana hukum akan dibangun dan ditegakkan. Bagir Manan mengartikan istilah politik perundang-undangan secara sederhana yaitu sebagai kebijaksanaan mengenai penentuan isi atau obyek pembentukan peraturan perundang-undangan. Sedangkan pembentukan peraturan perundang-undangan itu sendiri diartikan sebagai tindakan melahirkan suatu peraturan perundang-undangan.[ Sedangkan Abdul Wahid Masru mengartikan politik peraturan perundang-undangan sebagai kebijakan (beleids/policy) yang diterjemahkan sebagai tindakan pemerintahan/negara dalam membentuk peraturan perundang-undangan sejak tahap perencanaannya sampai dengan penegakannya (implementasinya). Sehingga dapat disimpulkan bahwa politik perundang-undangan merupakan arah kebijakan pemerintah atau negara mengenai pengaturan (substansi) hukum yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan (hukum tertulis) untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dimana dapat kita melihat gambaran mengenai politik perundang-undangan yang sedang dijalankan oleh pemerintah/negara? Untuk melihat perkembangan politik perundang-undangan yang berlaku pada masa tertentu secara substansial dan sederhana sebenarnya dapat dilihat dari:
1.         produk peraturan perundang-undangan yang dibentuk pada masa
itu yang secara mudah dan spesifik lagi biasanya tergambar pada konsiderans menimbang dan penjelasan umum (bila ada) dari suatu peraturan perundang-undangan yang dibentuk; dan
2.         kebijakan yang dibuat oleh pemerintah/negara pada saat itu yang merupakan garis pokok arah pembentukan hukum, seperti GBHN pada masa pemerintahan orde baru atau Prolegnas dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang berlaku pada saat ini.

B.   Kebijakan Politik Hukum Nasional
Sebelum lebih jauh membahas politik perundang-undangan, maka terlebih dahulu perlu kita memahami politik hukum sebagai induk dari politik perundang-undangan. Oleh karena itu, perlu disinggung secara garis besar mengenai arah kebijakan politik hukum nasional yang sedang dilaksanakan pada saat ini. Arah kebijakan politik hukum nasional khususnya setelah (pasca) reformasi dilandaskan pada keinginan untuk melakukan pembenahan sistem dan politik hukum yang dilandasikan pada 3 (tiga) prinsip dasar yang wajib dijunjung oleh setiap warga negara yaitu:
1.         supremasi hukum;
2.         kesetaraan di hadapan hukum; dan
3.         penegakan hukum dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum.
Ketiga prinsip dasar tersebut merupakan syarat mutlak dalam mewujudkan cita-cita terwujudnya negara Indonesia yang damai dan sejahtera. Apabila hukum ditegakkan dan ketertiban diwujudkan, maka diharapkan kepastian, rasa aman, tenteram, ataupun kehidupan yang rukun akan dapat terwujud. Untuk itu politik hukum nasional harus senantiasa diarahan pada upaya mengatasi berbagai permasalahan dalam penyelenggaraan sistem dan politik hukum yang meliputi permasalahan yang berkaitan dengan substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum.
1.         Substansi Hukum  (Legal Substance)
     Pembenahan substansi hukum merupakan upaya menata kembali materi hukum melalui peninjauan dan penataan kembali peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan tertib perundang-undangan dengan memperhatikan asas umum dan hirarki perundang-undangan dan menghormati serta memperkuat kearifan lokal dan hukum adat untuk memperkaya sistem hukum dan peraturan melalui pemberdayaan yurisprudensi sebagai bagian dari upaya pembaruan materi hukum nasional. Hal ini yang akan dibahas selanjutnya karena materi ini merupakan bagian dari politik perundang-undangan.
2          Struktur Hukum (Legal Structure)
Pembenahan terhadap struktur hukum lebih difokuskan pada penguatan kelembagaan dengan meningkatkan profesionalisme hakim dan staf peradilan serta kualitas sistem peradilan yang terbuka dan transparan; menyederhanakan sistem peradilan, meningkatkan transparansi agar peradilan dapat diakses oleh masyarakat dan memastikan bahwa hukum diterapkan dengan adil dan memihak pada kebenaran; memperkuat kearifan lokal dan hukum adat untuk memperkaya sistem hukum dan peraturan melalui pemberdayaan yurisprudensi sebagai bagian dari upaya pembaruan materi hukum nasional. Dalam kaitannya dengan pembenahan struktur hukum ini, langkah-langkah yang diterapkan adalah:
a.      Menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat pada sistem hukum dan kepastian hukum. Kurangnya independensi lembaga penegak hukum yang terjadi selama kurun waktu silam membawa dampak besar dalam sistem hukum. Intervensi berbagai kekuasaan lain terhadap kekuasaan yudikatif telah mengakibatkan terjadinya partialitas dalam berbagai putusan, walaupun hal seperti ini menyalahi prinsip-prinsip impartialitas dalam sistem peradilan telah mengakibatkan degradasi kepercayaan masyarakat kepada sistem hukum maupun hilangnya kepastian hukum.
b.   Penyelenggaraan proses hukum secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan (akuntabilitas). Akuntabilitas lembaga hukum tidak dilakukan dengan jelas, baik kepada siapa atau lembaga mana lembaga tersebut harus bertanggung jawab maupun tata cara bagaimana yang harus dilakukan untuk memberikan pertanggungjawabannya, sehingga memberikan kesan proses hukum tidak transparan. Hal ini juga berkaitan dengan “budaya” para penegak hukum dan masyarakatnya, sebagai contoh kurangnya informasi mengenai alur atau proses beracara di pengadilan sehingga hal tersebut sering dipakai oleh oknum yang memanfaatkan hal tersebut untuk menguntungkan dirinya sendiri. Kurangnya bahkan sulitnya akses masyarakat dalam melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan peradilan membuka kesempatan terjadinya penyimpangan kolektif di dalam proses peradilan sebagaimana dikenal dengan istilah mafia peradilan yang sampai saat ini tiada kunjung dapat teratasi, oleh kerena itu sangat diperlukan penetapan langkah-langkah prioritas dalam pembenahan lembaga peradilan.
c.   Pembenahan dan peningkatan sumber daya manusia di bidang hukum. Secara umum, kualitas sumber daya manusia di bidang hukum, dari mulai para peneliti hukum, perancang peraturan perundang-undangan sampai tingkat pelaksana dan penegak hukum masih perlu peningkatan, termasuk dalam hal memahami dan berperilaku responsif gender. Rendahnya kualitas sumber daya manusia di bidang hukum juga tidak terlepas dari belum mantapnya sistem pendidikan hukum yang ada. Selain itu  telah menjadi rahasia umum bahwa proses seleksi maupun kebijakan pengembangan sumber daya manusia di bidang hukum yang diterapkan banyak menyimpang yang akhirnya tidak menghasilkan SDM yang berkualitas. Hal ini pula yang memberikan berpengaruh besar terhadap memudarnya supremasi hukum serta semakin menambah ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem hukum yang ada.
3.         Budaya Hukum (Legal Culture)
Unsur yang ketiga dalam arah kebijakan politik hukum nasional adalah meningkatkan budaya hukum antara lain melalui pendidikan dan sosialisasi berbagai peraturan perundang-undangan.  Hal ini bertujuan untuk menumbuhkan kembali budaya hukum yang sepertinya “semakin hari semakin memudar” (terdegradasi). Apatisme dan menurunnya tingkat appresiasi masyarakat pada hukum dewasa ini sudah sangat mengkhawatirkan, maraknya kasus main hakim sendiri, pembakaran para pelaku kriminal, pelaksanaan sweeping oleh sebagian anggota masyarakat bahkan di depan aparat penegak hukum merupakan gambaran nyata semakin menipisnya budaya hukum masyarakat. Sehingga konsep dan makna hukum sebagai instrumen untuk melindungi kepentingan individu dan sosial hampir sudah kehilangan bentuknya yang berdampak pada terjadinya ketidakpastian hukum ”yang tercipta” melalui proses pembenaran perilaku salah dan menyimpang bahkan hukum sepetinya hanya merupakan instrumen pembenar bagi ”perilaku salah”, seperti sweeping yang dilakukan oleh kelompok masa, oknum aparat yang membacking orang atau kelompok tertentu, dan lain sebagainya.
Tingkat kesadaran masyarakat terhadap hak, kewajibannya, dan hukum sangat berkaitan dengan (antara lain) tingkat pendidikan dan proses sosialisasi terhadap hukum itu sendiri. Di lain pihak kualitas, profesionalisme, dan kesadaran aparat penegak hukum juga merupakan hal mutlak yang harus dibenahi. Walaupun tingkat pendidikan sebagian masyarakat masih kurang memadai, namun dengan kemampuan dan profesionalisme dalam melakukan pendekatan dan penyuluhan hukum oleh para praktisi dan aparatur ke dalam masyarakat, sehingga pesan yang disampaikan kepada masyarakat dapat diterima secara baik dan dapat diterapkan apabila masyarakat menghadapi berbagai persoalan yang terkait dengan hak dan kewajibannya serta bagaimana menyelesaikan suatu permasalahan sesuai dengan jalur hukum yang benar dan tidak menyimpang.
Untuk mendukung pembenahan sistem dan politik hukum tersebut, telah ditetapkan sasaran politik hukum nasional yaitu terciptanya suatu sistem hukum nasional yang adil, konsekuen, dan tidak diskriminatif (termasuk bias gender); terjaminnya konsistensi seluruh peraturan perundang-undangan pada tingkat pusat dan daerah, serta tidak bertentangan dengan peraturan dan perundangan yang lebih tinggi, dan kelembagaan peradilan dan penegak hukum yang berwibawa, bersih, profesional dalam upaya memulihkan kembali kepercayaan hukum masyarakat secara keseluruhan. Untuk mewujudkan sasaran tersebut, maka disusun suatu program pembangunan politik hukum, antara lain dengan melakukan:
1.        program perencanaan hukum;
2.        Program pembentukan hukum;
3         program peningkatan kinerja lembaga peradilan dan lembaga penegakan hukum lainnya;
4.        program peningkatan kualitas profesi hukum; dan
5         program peningkatan kesadaran hukum dan hak asasi manusia.

C.        Politik Perundang-undangan
  Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa politik perundang-undangan merupakan arah kebijakan pemerintah atau negara mengenai arah pengaturan (substansi) hukum yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan (hukum tertulis) untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Mengapa hanya menggambarkan keinginan atau kebijakan pemerintah atau negara?  Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa kewenangan atau organ pembentuk peraturan perundang-undangan adalah hanya negara atau Pemerintah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan bentuk monopoli negara yang absolut, tunggal, dan tidak dapat dialihkan pada badan yang bukan badan negara atau bukan badan pemerintah. Sehingga pada prinsipnya tidak akan ada deregulasi yang memungkinkan penswastaan pembentukan peraturan perundang-undangan. Namun demikian dalam proses pembentukannya sangat mungkin mengikutsertakan pihak bukan negara  atau Pemerintah. Hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa peraturan perundang-undangan, baik langsung maupun tidak langsung akan selalu berkenaan dengan kepentingan umum, oleh karena itu sangat wajar apabila masyarakat diikutsertakan dalam penyusunannya.
  Keikutsertaan tersebut dapat dalam bentuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk melakukan berbagai prakarsa dalam mengusulkan/memberikan masukan untuk mengatur sesuatu atau memberikan kesempatan pada masyarakat untuk menilai, memberikan pendapat atas berbagai kebijaksanaan negara atau Pemerintah di bidang perundang-undangan. Dalam praktek, pengikutsertaan dilakukan melalui kegiatan seperti pengkajian ilmiah, penelitian, berpartisipasi dalam forum-forum diskusi atau duduk dalam kepanitiaan untuk mempersiapkan suatu rancangan peraturan perundang-undangan. Pada forum Dewan Perwakilan Rakyat juga dilakukan pemberian sarana partisipasi yang dilakukan melalui pranata "dengar pendapat" atau "public hearing". Berbagai sarana untuk berpartisipasi tersebut akan lebih efektif bila dilakukan dalam lingkup yang lebih luas bukan saja dari kalangan ilmiah atau kelompok profesi, tetapi dari berbagai golongan kepentingan (interest groups) atau masyarakat pada umumnya. Untuk mewujudkan hal tersebut biasanya diperlukan suatu sistem desiminasi rancangan peraturan perundang-undangan agar masyarakat dapat mengetahui arah kebijakan atau politik hukum dan perundang-undangan yang dilaksanakan. Sehingga pembangunan dan pembentukan peraturan perundang-undangan dapat mengarah pada terbentuknya suatu sistem hukum nasional Indonesia yang dapat mengakomodir harapan hukum yang hidup di dalam masyarakat Indonesia yang berorientasi pada terciptanya hukum yang responsive. Berkaitan dengan hal tersebut Mahfud MD juga menyatakan:
Hukum yang responsive merupakan produk hukum yang lahir dari strategi pembangunan hukum yang memberikan peranan besar dan mengundang partisipasi secara penuh kelompok-kelompok masyarakat sehingga isinya mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat pada umumnya. Dari yang telah diuraikan tersebut, maka seharusnya peraturan perundang-undangan dapat diformulasikan sedemikian rupa yaitu sedapat mungkin menampung berbagai pemikiran dan partisipasi berbagai lapisan masyarakat, sehingga hukum yang dihasilkan dapat diterima oleh masyarakat. Pemahaman mengenai hal ini sangat penting karena dapat menghindari benturan pemahaman antara masyarakat dan pemerintah atau negara yang akan terjebak ke dalam tindakan yang dijalankan diluar jalur atau landasan hukum. Bila hukum yang dihasilkan adalah hukum yang responsif, maka tidak akan ada lagi hukum siapa yang kuat (punya kekuasaan) akan menguasai yang lemah atau anggapan rakyat selalu menjadi korban, karena lahirnya hukum tersebut sudah melalui proses pendekatan dan formulasi materi muatannya telah menampung berbagai aspirasi masyarakat. Pada dasarnya penerimaan (resepsi) dan apresiasi masyarakat terhadap hukum sangat ditentukan pula oleh nilai, keyakinan, atau sistem sosial politik yang hidup dalam masyarakat itu sendiri.
Dalam sejarah perkembangan peraturan perundang-undangan di Indonesia pernah terjadi bahwa selama lebih dari 30 tahun sebelum reformasi tahun 1998, konfigurasi politik yang berkembang di negara Indonesia dibangun secara tidak demokratis sehingga hukum kita menjadi hukum yang konservatif dan terpuruk karena selalu dijadikan sub ordinat dari politik. Sedangkan ciri atau karakteristik yang melekat pada hukum konservatif antara lain:
1.    Proses pembuatannya sentralistik (tidak partisipatif) karena didominasi oleh lembaga-lembaga negara yang dibentuk secara tidak demokrastis pula oleh negara. Di sini peran lembaga peradilan dan kekuatan-kekuatan masyarakat sangat sumir.
2.    Isinya bersifat positivist-instrumentalistik  (tidak aspiratif) dalam arti lebih mencerminkan kehendak penguasa karena sejak semula hukum telah dijadikan alat (instrumen) pembenar yang akan maupun (terlanjur) dilakukan oleh pemegang kekuasaan yang dominan.
3.   Lingkup isinya bersifat open responsive (tidak responsif) sehingga mudah ditafsir secara sepihak dan dipaksakan penerimanya oleh pemegang kekuasaan negara.
4.    Pelaksanaannya lebih mengutamakan program dan kebijakan sektoral jangka pendek dari pada menegakkan aturan-aturan hukum yang resmi berlaku.
5.    Penegakannya lebih mengutamakan perlindungan korp sehingga tidak jarang pembelokan kasus hukum oleh aparat dengan mengaburkan kasus pelanggaran menjadi kasus prosedur atau menampilkan kambang hitam sebagai pelaku yang harus dihukum.

Sejalan dengan M. Mahfud MD, mengenai ciri tersebut, Satya Arinanto memberikan pendapatnya bahwa produk hukum yang konservatif mempunyai makna: Produk hukum konservatif/ortodoks/elitis adalah produk hukum yang isinya lebih mencerminkan visi sosial elit politik, keinginan pemerintah, dan bersifat positivis-instrumentalis, yakni menjadi alat pelaksanaan ideologi dan program negara. Ia lebih tertutup terhadap tuntutan-tuntutan kelompok-kelompok maupun individu-individu dalam masyarakat. Dalam pembuatannya, peranan dan partisipasi masyarakat relatif kecil. Sedangkan produk hukum responsif/populistik adalah produk hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam proses pembuatannya memberikan peranan besar dan partisipasi penuh kelompok-kelompok sosial atau individu-individu dalam masyarakat. Hasilnya bersifat responsif terhadap tuntutan-tuntutan kelompok-kelompok sosial atau individu-individu dalam masyarakat.
            Dari pengalaman sejarah hukum tersebut seharusnya perlu dirancang suatu skenario politik perundang-undangan nasional yang berorientasi pada pemahaman konsep sistem hukum nasional yang diwujudkan dalam bentuk penyusunan peraturan perundang-undangan secara komprehensif dan aspiratif. Penyusunan atau pembentukan peraturan perundang-undangan yang aspiratif tersebut merupakan rangkaian dari langkah-langkah strategis yang dituangkan dalam program pembangunan hukum nasional yang dilaksanakan untuk mewujudkan negara hukum yang adil dan demokratis serta berintikan keadilan dan kebenaran yang mengabdi kepada kepentingan rakyat dan bangsa di dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

D.   Landasan Politik Perundang-undangan
Sebagai bagian dari suatu konsep pembangunan,  politik perundang-undangan sudah pasti bertumpu pada suatu landasan (yuridis), yaitu antara lain:
a.      Pancasila.
Pancasila ladasan awal dari politik hukum dan peraturan perundang-undangan hal ini dimaksudkan agar kebijakan dan strategi (politik) hukum dan peraturan perundang-undangan sejalan sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat Indonesia dengan tetap membuka diri terhadap berbagai hal-hal yang baik yang merupakan hasil perubahan yang terjadi dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara baik di lingkungan pergaulan nasional maupun internasional.
b.      Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
UUD NRI Tahun 1945 merupakan landasan formal dan materiil konstitusional dalam politik hukum dan peraturan perundang-undangan sehingga setiap kebijakan dan strategi di bidang hukum dan peraturan perundang-undangan mendapatkan legitimasi konstitusional sebagai salah satu bentuk penjabaran negara berdasar atas hukum (rechtsstaat) dan asas konstitusionalisme.
c.    Peraturan atau Kebijakan implementatif dari politik peraturan perundang-undangan.
Yang dimaksud disini adalah peraturan atau kebjikan yang memuat aturan-aturan yang berkaitan dengan politik hukum dan peraturan perundang-undangan yang bersifat implementatif dari landasan filosofis, konstitusional, operasional, formal, dan prosedural, misalnya antara lain Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005, Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005, Program Legislasi Nasional (Prolegnas), Rencana Pembangunan Jangka Menengah, dan lain sebagainya.
Di samping landasan tersebut, dalam melaksanakan politik peraturan perundang-undangan, seharusnya perlu diperhatikan pula mengenai pola pikir pembentukan peraturan perundang-undangan (hukum) yang harus disesuaikan dengan prinsip-prinsip:
1)      Segala jenis peraturan perundang-undangan merupakan satu kesatuan sistem hukum yang bersumbar pada Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945. Oleh sebab itu, tata urutan, kesesuaian isi antara berbagai peraturan perundang-undangan tidak boleh diabaikan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
2)      Tidak semua aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara harus diatur dengan peraturan perundang- undangan. Berbagai tatanan yang hidup dalam masyarakat yang tidak bertentangan dengan cita hukum, asas hukum umum yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 dapat dibiarkan dan diakui sebagai subsistem hukum nasional dan karena itu mempunyai kekuatan hukum seperti peraturan perundang-undangan.
3)     Pembentukan peraturan perundang-undangan, selain mempunyai dasar-dasar yuridis, harus dengan seksama mempertimbangkan dasar-dasar filosifis dan kemasyarakatan tempat kaidah tersebut akan berlaku.
4)    Pembentukan  peraturan  perundang-undangan selain mengatur keadaan yang ada harus mempunyai jangkauan masa depan.
5)    Pembentukan peraturan perundang-undangan bukan hanya sekedar menciptakan instrumen kepastian hukum tetapi juga merupakan instrumen keadilan dan kebenaran.
6)    Pembentukan peraturan perundang-undangan harus didasarkan pada partisipasi masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung (peran serta masyarakat).
7)    Pembentukan peraturan perundang-undangan harus didasarkan asas dan materi muatan peraturan perundang-undangan.

E.    Langkah Strategis Politik Perundang-undangan Nasional (Jangka Menengah)
            Sehubungan dengan politik pembangunan hukum dan politik peraturan perundang-undangan nasional, paling tidak pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat telah menetapkan dua langkah strategis, yaitu dengan menetapkan Program Legislasi Nasional 2005-2009 dan menetapkan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009.
1.         Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009.
Dalam rangka pembenahan sistem dan politik hukum nasional pada tanggal 19 Januari 2005 ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009. Satya Arinanto dalam pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia tanggal 18 Maret 2006 menyatakan bahwa Peraturan Presiden tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ini dapat dikatakan sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang pernah ada dalam Era Orde Lama dan Orde Baru. Bila dilihat dari beberapa hal yang berkaitan dengan pembenahan substansi hukum, maka dapat dikatakan bahwa politik hukum atau politik peraturan perundang-undangan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ini diarahkan pada permasalahan terjadinya tumpang tindih dan inkonsistensi peraturan perundang-undangan dan implementasi undang-undang yang terhambat peraturan pelaksanaannya. Berdasarkan adanya permasalahan tersebut, maka politik hukum nasional akan diarah pada terciptanya hukum nasional yang adil, konsekuen, dan tidak diskriminatif serta menjamin terciptanya konsistensi seluruh peraturan perundang-undangan pada tingkat pusat dan daerah serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.
Untuk itu dalam rangka mengimplementasikan politik pembangunan hukum nasional, maka dengan Peraturan Presiden tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tersebut ditetapkan suatu landasan politik perundang-undangan nasional yang menetapkan kebijakan untuk memperbaiki substansi hukum melalui peninjauan dan penataan kembali peraturan perundang-undangan dengan memperhatikan asas umum dan hierarki peraturan perundang-undangan. Peninjauan dan penataan kembali peraturan pundang-undangan tersebut adalah merupakan kegiatan yang dilakukan untuk melakukan peninjauan dan penataan peraturan perundang-undangan termasuk didalamnya melakukan kegiatan pengharmonisasian berbagai rancangan peraturan perundang-undangan dengan rancangan peraturan perundang-undangan yang lain maupun terhadap peraturan perundang-undangan yang telah ada, juga melakukan pengharmonisasi peraturan perundang-undangan yang sudah ada dengan peraturan perundang-undangan yang lain. Hal ini  dimaksudkan agar peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih, inkonsistensi, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (disharmonis) dapat ditinjau kembali untuk dilakukan perubahan atau revisi.
Politik perundang-undangan yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ditujukan untuk menciptakan persamaan persepsi dari seluruh pelaku pembangunan khususnya di bidang hukum dalam menghadapi berbagai isu strategis dan global yang secara cepat perlu diantipasi agar penegakan dan kepastian hukum tetap berjalan secara berkesinambungan yang diharapkan akan dihasilkan kebijakan/materi hukum yang sesuai dengan aspirasi masyarakat serta mempunyai daya laku yang efektif dalam masyarakat dan dapat menjadi sarana untuk mewujudkan perubahan-perubahan di bidang sosial kemasyarakatan. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 juga telah mengarahkan pembentukan peraturan perundang-undangan yang harus dilakukan melalui proses yang benar dengan memperhatikan tertib perundang-undangan serta asas umum peraturan perundang-undangan yang baik. Adapun pokok-pokok politik perundang-undangan yang akan dilaksanakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tersebut,  dapat dikelompokkan antara lain meliputi kegiatan:
        1. Pelaksanaan berbagai pengkajian hukum dengan mendasarkan baik dari hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis yang terkait dengan isu hukum, hak asasi manusia dan peradilan;
        2. Pelaksanaan berbagai penelitian hukum untuk dapat lebih memahami kenyataan yang ada dalam masyarakat;
        3. Harmonisasi di bidang hukum (hukum tertulis dan hukum tidak tertulis/hukum adat) terutama pertentangan antara peraturan perundang-undangan pada tingkat pusat dengan peraturan perundang-undangan pada tingkat daerah yang mempunyai implikasi menghambat pencapaian kesejahteraan rakyat;
        4. Penyusunan naskah akademis rancangan undang-undang berdasarkan kebutuhan masyarakat;
         5. Penyelenggaraan berbagai konsultasi publik terhadap hasil pengkajian dan penelitian sebagai bagian dari proses pelibatan masyarakat dalam proses penyusunan rekomendasi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat;
         6. Penyempurnaan dan perubahan dan pembaruan berbagai peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai dan tidak sejalan dengan kebutuhan masyarakat dan pembangunan, serta yang masih berindikasi diskriminasi dan yang tidak memenuhi prinsip kesetaraan dan keadilan;
7.   Penyusunan dan penetapan berbagai peraturan perundang-undangan berdasarkan asas hukum umum, taat prosedur serta sesuai dengan pedoman penyusunan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.      Program Legislasi Nasional (Prolegnas)
Program Legislasi Nasional (Prolegnas) adalah bagian dari manajemen dan politik pembentukan peraturan perundang-undangan yang merupakan instrument perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis yang ditetapkan untuk jangka waktu panjang, menengah, dan tahunan berdasarkan skala prioritas pembentukan Rancangan Undang-Undang. Prolegnas sangat diperlukan untuk menata sistem hukum nasional secara menyeluruh dan terpadu yang didasarkan pada cita-cita Proklamasi dan landasan konstitusional negara hukum Indonesia. Dasar hukum penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) saat ini adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional. Prolegnas memuat program pembentukan Undang-Undang dengan pokok materi yang akan diatur serta keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang merupakan penjelasan secara lengkap mengenai konsep Rancangan Undang-Undang yang meliputi:
a.         latar belakang dan tujuan penyusunan;
b.         sasaran yang akan diwujudkan;
c.         pokok-pokok pikiran, lingkup atau obyek yang akan diatur; dan
d.         jangkauan dan arah pengaturan.
Penyusunan Prolegnas di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat dikoordinasikan oleh Badan Legislasi dan Penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah dikoordinasikan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Hasil penyusunan Prolegnas di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat oleh Badan Legislasi dikoordinasikan dengan Pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM dalam rangka sinkronisasi dan harmonisasi Prolegnas.
Di lingkungan pemerintah, Menteri Hukum dan HAM sebagai koordinator dalam pelaksanaan pengharmoni­sasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang di lingkungan pemerintah. Upaya pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang diarahkan pada perwujudan keselarasan dengan falsafah Negara, tujuan nasional berikut aspirasi yang melingkupinya, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang lain yang telah ada berikut segala peraturan pelaksanaannya dan kebijakan lainnya yang terkait dengan bidang yang diatur dalam Rancangan Undang-Undang tersebut. Secara garis besar arah kebijakan atau politik hukum yang dituangkan dalam Prolegnas tahun 2005-2009 adalah:
a.  membentuk peraturan perundang-undangan di bidang hukum, ekonomi, politik, agama, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, social budaya, pembangunan daerah, sumber daya alam dan lingkungan hidup, pertahanan dan keamanan, sebagai pelaksanaan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.    mengganti peraturan perundang-undangan pening­galan kolonial dan menyempurnakan peraturan perundang- undangan yang ada yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan Zaman;
c.    mempercepat proses penyelesaian rancangan undang- undang yang sedang dalam proses pembahasan dan membentuk undang-undang yang diperintahkan oleh undang- undang;

d.     membentuk peraturan perundang-undangan yang baru untuk mempercepat proses reformasi, mendukung pemulihan ekonomi, perlindungan hak asasi manusia dan pemberantasan korupsi, kolusi, nepotisme, dan kejahatan transnasional;
e.    meratifikasi secara selektif konvensi internasional yang diperlukan untuk mendukung pembangunan ekonomi, demokrasi dan perlindungan hak asasi manusia serta pelestarian lingkungan hidup;
f.    membentuk peraturan peraturan perundang- undangan baru sesuai dengan tuntutan masyarakat dan kemajuan jaman;
g.    memberikan landasan yuridis bagi penegakan hukum secara tegas, profesional, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan jender; dan
h.    menjadikan hukum sebagai sarana pembaruan dan pembangunan di segala bidang yang mengabdi kepada kepentingan rakyat, bangsa, dan negara guna mewujudkan prinsip keseimbangan antara ketertiban, legitimasi, dan keadilan.

               Untuk Prolegnas tahun 2005 sampai dengan tahun 2009 ditetapkan sebanyak 284 rancangan undang-undang yang direncanakan untuk bentuk. Dalam prakteknya selain Rancangan Undang-Undang yang tercantum dalam Prolegnas, juga terdapat Rancangan Undang-Undang yang tidak masuk dalam Prolegnas tahuan 2005-2009 tetapi juga dijadwalkan untuk dibahas antara Pemerintah dan DPR untuk disahkan menjadi Undang-Undang, antara lain RUU tentang Penggunaan Lambang Palang Merah dan RUU tentang Pemerintahan Aceh. Hal ini dimungkinkan karena berdasarkan ketentuan Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa dalam keadaan tertentu, Dewan Perwakilan Rakyat atau Presiden dapat mengajukan rancangan undang-undang di luar Program Legislasi Nasional, yang dimaksud dalam keadaan tertentu disini antara lain merupakan kondisi yang memerlukan pengaturan yang tidak tercantum dalam Program Legislasi Nasional.
Sebagai implementasi operasional dari Prolegnas yang disusun, setiap tahunnya ditetapkan skala prioritas penyusunan rancangan undang-undang. Untuk tahun 2005 telah ditetapkan sebanyak 55 skala prioritas pembahasan RUU, namun yang dapat diselesaikan hanya 14 RUU. Sedangkan sisa yang tidak dapat diselesaikan menjadi prioritas pembahasan tahun 2006.
Kriteria untuk menentukan skala prioritas Prolegnas adalah sebagaimana kesepakatan yang diambil dalam rapat konsultasi antara Menteri Hukum dan HAM bersama dengan badan legislasi DPR yang diselenggarakan pada tanggal 31 Januri 2005, yaitu:
a.    merupakan perintah dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.    merupakan perintah Ketetatapn Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
c.    yang  terkait dengan pelaksanaan undang-undang lain;
d.    mendorong percepatan reformasi;
e.    yang merupakan warisan Prolegnas 2000-2004 yang disesuaikan dengan kondisi saat ini;
f.     yang menyangkut revisi atau amandemen terhadap undang-undang yang bertentangan dengan undang-undang lainnya.
g.    yang merupakan ratifikasi terhadap perjanjian internasional;
h.    yang berorientasi pada pengaturan perlindungan hak-hak asasi manusia dengan memperhatikan prinsip keadilan dan kesetaraan jender;
i.    yang mendukung pemulihan dan pembangunan ekonomi kerakyatan yang berkeadilan;
j.    yang secara langsung menyentuh kepentingan rakyat untuk memulihkan dan meningkatkan kondisi kesejahteraan sosial masyarakat.


F.   Penutup
Dari beberapa kebijakan yang menjadi landasan politik hukum dan politik peraturan perundang-undangan tersebut di atas jelas terlihat betapa pentingnya dan strategisnya fungsi perencanaan pembangunan dan politik peraturan perundang-undangan (hukum) sebagai salah satu wujud pembangunan substansi hukum (legal substance) untuk mencapai tujuan dan mewujudkan penyusunan peraturan perundang-undangan yang efektif, responsif, dan demokratif dalam kerangka pembangunan sistem hukum nasional secara keseluruhan yang meliputi pembangunan berbagai subsistem hukum yang saling terkait yaitu pembangunan substansi hukum, kelembagaan hukum, serta budaya atau kesadaran hukum masyarakat dan menempatkan supremasi hukum secara strategis sebagai landasan dan perekat pembangunan di bidang lainnya.

G. REFERENSI PENULISAN
M. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, cet.  II (Jakarta: LP3ES, 2001), 
Bagir Manan, Politik Perundang-undangan, Makalah, Jakarta, Mei 1994
Abdul Wahid Masru, Politik Hukum dan Perundang-undangan, Makalah, Jakarta, 2004

PPS-MH
UNILA 2009

Recent Post

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. abang tampan - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger