About Me

Foto Saya
aRie IMTY
Bandar Lampung, Lampung, Indonesia
saya adalah saya, kamu adalah kamu, saya bukan siapa-siapa, melainkan saya adalah diri saya sendiri.
Lihat profil lengkapku

Perjalanan Hidup

Hidup adalah perjuangan...
setiap detik yang kita lalui adalah peringatan..
Peringatan untuk selalu ingat akan sebuah Tanggung jawab...

Title

Pengikut

Home » » RELEVANSI NILAI-NILAI FUNDAMENTAL DALAM PERKEMBANGAN DEWASA INI

RELEVANSI NILAI-NILAI FUNDAMENTAL DALAM PERKEMBANGAN DEWASA INI

aRie IMTY | 23.04 | 0 komentar
RELEVANSI NILAI-NILAI FUNDAMENTAL DALAM PERKEMBANGAN DEWASA INI

A. PENDAHULUAN
Filsafat adalah upaya untuk mempelajari dan mengungkapkan penggambaran manusia di dunia menuju akhirat yang mendasar. Objeknya adalah materi dan forma. Objek materi sering disebut segala sesuatu yang ada bahkan yang mungkin ada. Hal ini berarti filsafat mempelajari apa saja yang menjadi isi alam semesta mulai dari benda mati, tumbuhan, hewan, manusia dan sang pencipta. Selanjutnya, objek ini sering disebut realita atau kenyataan. Sedangkan yang disebut obyek forma adalah Dari objek materi tersebut, filsafat ingin mempelajari baik secara fragmental (menurut bagian dan jenisnya) maupun secara integral menurut keterkaitan antara bagian-bagian dan jenis-jenis itu dalam suatu keutuhan secara keseluruhan.
Salah satu yang dipelajari dari objek materi adalah manusia. Manusia memiliki kelebihan-kelebihan di bandingkan dengan makhluk-makhluk Tuhan yang lainnya. Salah satu kelebihannya adalah rasa keingintahuannya yang sangat dalam terhadap segala sesuatu yang ada dialam semesta ini. Dan sesuatu yang telah diketahui manusia itu disebut sebagai pengetahuan. Jika dilihat dari sumber perolehannya, maka pengetahuan dapat dibeda-badakan, antara lain: apabila pengetahuan diperoleh melalui indera, maka disebut pengetahuan indera (pengetahuan biasa). Jika diperoleh dengan mengikuti metode dan system tertentu serta bersifat universal, maka disebut sebagai pengetahuan ilmiah. Dan jika pengetahuan diperoleh melalui perenungan yang sedalam-dalamnya (kontemplasi) hingga sampai pada hakikatnya, maka muncullah pengetahuan filsafat.
Apabila kita kaji kepustakaan mengenai filsafat hukum, maka dapat ditemukan berbagai macam definisi yang berbeda tentang filsafat hukum antara lain sebagai berikut:

Menurut Soetikno
Filsafat hukum adalah mencari hakikat dari hukum, dia inginmengetahui apa yang ada dibelakang hukum, mencari apa yang tersembunyi di dalam hukum, dia menyelidiki kaidah-kaidah hukum sebagai pertimbangan nilai, dia memberi penjelasan mengenai nilai, postulat (dasar-dasar) sampai pada dasar-dasarnya, ia berusaha untuk mencapai akar-akar dari hukum.
Menurut Satjipto Raharjo
Filsafat hukum mempelajari pertanyaan-pertanyaan dasar dari hukum. Pertanyaan tentang hakikat hukum, tentang dasar bagi kekuatan mengikat dari hukum, merupakan contoh-contoh pertanyaan yang bersifat mendasar itu. Atas dasar yang demikian itu, filsafat hukum bisa menggarap bahan hukum, tetapi masing-masing mengambil sudut pemahaman yang berbeda sama sekali. Ilmu hukum positif hanya berurusan dengan suatu tata hukum tertentu dan mempertanyakan konsistensi logis asa, peraturan, bidang serta system hukumnya sendiri.
Menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto
Filsafat hukum adalah perenungan dan perumusan nilai-nilai, kecuali itu filsafat hukum juga mencakup penyerasian nilai-nilai, misalnya penyelesaian antara ketertiban dengan ketenteraman, antara kebendaan dan keakhlakan, dan antara kelanggengan atau konservatisme dengan pembaruan.
Menurut Lili Rasjidi
Filsafat hukum berusaha membuat “dunia etis yang menjadi latar belakang yang tidak dapat diraba oleh panca indera” sehingga filsafat hukum menjadi ilmu normative, seperti halnya dengan ilmu politik hukum. Filsafat hukum berusaha mencari suatu cita hukum yang dapat menjadi “dasar hukum” dan “etis” bagi berlakunya system hukum positif suatu masyarakat (seperti grundnorm yang telah digambarkan oleh sarjana hukum bangsa Jerman yang menganut aliran-aliran seperti Neo kantianisme).
Berfilsafat hukum merupakan kegiatan berfikir yang dilakukan secara mendalam dan terus menerus untuk menemukan dan merumuskan hakekat, sifat dan substansi hukum yang ideal.
B. URGENSI dan RELEVANSI FILSAFAT HUKUM
Kita tidak dapat memungkiri, bahwa perkembangan ilmu dan teknologi begitu pesatnya. Dengan ilmu yang dimiliki manusia, sudah banyak masalah yang berhasil dipecahkan. Rahasia alam semesta, misalnya, telah banyak diungkapkan melalui kemajuan ilmu tersebut, yang pada gilirannya menghasilkan teknologi-teknologi spektakuler, seperti bioteknologi, teknologi di bidang komputer, komunikasi maupun ruang angkasa. Akan tetapi sebanyak dan semaju apapun ilmu yang dimiliki manusia, tetap saja ada pertanyaan-pertanyaan yang belum berhasil dijawab. Maka ketika ilmu tidak lagi mampu menjawab, pertanyaan pertanyaan tersebut menjadi porsi pekerjaan filsafat. Berfilsafat adalah berfikir. Hal ini tidak berarti setiap berfikir adalah berfilsafat, karena berfilsafat itu berfikir dengan ciri-ciri tertentu. Ada beberapa ciri berpikir secara kefilsafatan, yaitu :
1. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara radikal. Radikal berasal dari kata Yunani, radix yang berarti “akar”. Berfikir secara radikal adalah berfikir sampai ke akar-akarnya. Berfikir sampai ke hakikat, essensi, atau samapai ke substansi yang dipikirkan. manusia yang berfilsafat tidak puas hanya memperoleh pengetahuan lewat indera yang selalu berubah dan tidak tetap. Manusia yang berfilsafat dengan akalnya berusaha untuk dapat menangkap pengetahuan hakiki, yaitu pengetahuan yang mendasari segala pengetahuan inderawi.
2. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara universal (umum). Berfikir secara universal adalah berfikir tentang hal-hal serta proses-proses yang bersifat umum. Filsafat bersangkutan dengan pengalaman umum dari ummat manusia (common experience of mankind). Dengan jalan penjajakan yang radikal, filsafat berusaha untuk sampai pada kesimpulan-kesimpulan yang universal. Bagaimana cara atau jalan yang ditempuh untuk mencapai sasaran pemikirannya dapat berbeda-beda. Akan tetapi yang dituju adalah keumuman yang diperoleh dari hal-hal khusus yang ada dalam kenyataan.
3. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara konseptual. Yang dimaksud dengan konsep di sini adala hasil generalisasi dan abstraksi dari pengalaman tentang hal-hal sertya proses-proses individual. Berfilsafat tidak berfikir tentang manusia tertentu atau manusia khusus, tetap[i berfikir tentang manusia secara umum. Dengan ciri yang konseptual ini, berfikir secara kefilsafatan melampoi batas pengalaman hidup sehari-hari.
4. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara koheren dan konsisten. Koheren artinya sesuai dengan kaidah-kaidah berfikir (logis). Konsisten artinya tidak mengandung kontradiksi. Baik koheren maupun konsisten, keduanya dapat diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, yaitu runtut. Adapun yang dimaksud runtut adalah bagan konseptual yang disusun tidak terdiri atas pendapat-pendapat yang saling berkontradiksi di dalamnya.
5. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara sistematik. Sistematik berasal dari kata sistem yang artinya kebulatan dari sejumlah unsur yang saling berhubungan menurut tata pengaturan untuk mencapai sesuatu maksud atau menunaikan sesuatu peranan tertentu. Dalam mengemukakan jawaban terhadap sesuatu masalah, digunakan pendapat atau argumen yang merupakan uraian kefilsafatan yang saling berhubungan secara teratur dan terkandung adanya maksud atau tujuan tertentu.
6. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara komprehensif. Komprehensif adalah mencakup secara menyeluruh. Berfikir secara kefilsafatan berusaha untuk menjelaskan fenomena yang ada di alam semesta secara keseluruhan sebagai suatu sistem.
7. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara bebas. Sampai batas-batas yang luas, setiap filsafat boleh dikatakan merupakan suatu hasil dari pemikiran yang bebas. Bebas dari prasangka-prasangka sosial, historis, kultural, atau religius. Sikap-sikap bebas demikian ini banyak dilukiskan oleh filsuf-filsuf dari segala zaman. Socrates memilih minum racun dan menatap maut daripada harus mengorbankan kebebasannya untuk berpikir menurut keyakinannya. Spinoza karena khawatir kehilangan kebebasannya untuk berfikir, menolak pengangkatannya sebagai guru besar filsafat pada Universitas Heidelberg.
8. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan dengan pemikiran yang bertanggungjawab. Pertangungjawaban yang pertama adalah terhadap hati nuraninya. Di sini tampak hubungan antara kebebasan berfikir dalam filsafat dengan etika yang melandasinya. Sebagaimana berfikir secara kefilsafatan, maka pemikiran filsafat hukum juga memiliki beberapa sifat atau karakteritik khusus yang membedakannya dengan ilmu-ilmu lain.
Pertama, filsafat hukum memiliki karakteristik yang bersifat menyeluruh dan universal. Dengan cara berfikir holistik tersebut, maka siapa saja yang mempelajari filsafat hukum diajak untuk berwawasan luas dan terbuka. Mereka diajak untuk menghargai pemikiran, pendapat dan pendirian orang lain. Itulah sebabnya dalam filsafat hukumpun dikenal pula berbagai aliran pemikiran tentang hukum, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dengan demikian diharapkan para cendekiawan hukum, tidak bersikap arogan dan apriori, bahwa disiplin ilmu yang dimilikinya lebih tinggi dengan disiplin ilmu yang lainnya. Kemudian filsafat hukum dengan sifat universalitasnya, memandang kehidupan secara menyeluruh, tidak memandang hanya bagian-bagian dari gejala kehidupan saja atau secara partikular. Dengan demikian filsafat hukum dapat menukik pada persoalan lain yang relevan atau menerawang pada keseluruhan dalam perjalanan reflektifnya, tidak sekedar hanya memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Dalam filsafat hukum, pertimbangan-pertimbangan di luar obyek adalah salah satu ciri khasnya. Filsafat hukum tidak bersifat bebas nilai. Justru filsafat hukum menimba nilai yang berasal dari hidup dan pemikiran.
Ciri yang kedua, filsafat hukum juga memiliki sifat yang mendasar atau memusatkan diri pada pertanyaan-pertanyaan mendasar (basic or fundamental questions). Artinya dalam menganalisis suatu masalah, seseorang diajak untuk berpikir kritis dan radikal. Dengan mempelajari dan memahami filsafat hukum berarti diajak untuk memahami hukum tidak dalam arti hukum positif belaka. Orang yang mempelajari hukum dalam arti positif belaka, tidak akan mampu memanfaatkan dan mengembangkan hukum secara baik. Apabila orang itu menjadi hakim misalnya, dikhawatirkan ia akan menjadi hakim yang bertindak selaku “corong undang-undang” semata.
Ciri berikutnya yang tidak kalah pentingnya adalah sifat filsafat yang spekulatif. Sifat ini tidak boleh diartikan secara negatif sebagai sifat gambling. Sebagai dinyatakan oleh Suriasumantri, bahwa semua ilmu yang berkembang saat ini bermula dari sifat spekulatif tersebut. Sifat ini mengajak mereka yang mempelajari filsafat hukum untuk berpikir inovatif, selalu mencari sesuatu yang baru. Memang, salah satu ciri orang yang berpikir radikal adalah senang kepada hal-hal yang baru. Tentu saja tindakan spekulatif yang dimaksud di sini adalah tindakan yang terarah, yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dengan berpikir spekulatif dalam arti positif itulah hukum dapat dikembangkan ke arah yang dicita-citakan bersama. Secara spekulatif, filsafat hukum terjadi dengan pengajuan pertanyaan-pertanyaan mengenai hakekat hukum. Pertanyaan-pertanyaan itu menimbulkan rasa sangsi dan rasa terpesona atas suatu kebenaran yang dikandung dalam suatu persoalan. Apabila jawaban-jawabannya diperoleh maka jawaban-jawaban itu disusun dalam suatu sistem pemikiran yang universal dan radikal.
Kemudian ciri yang lain lagi adalah sifat filsafat yang reflektif kritis. Melalui sifat ini, filsafat hukum berguna untuk membimbing kita menganalisis masalah-masalah hukum secara rasional dan kemudian mempertanyakan jawaban itu secara terus menerus. Jawaban tersebut seharusnya tidak sekedar diangkat dari gejala-gejala yang tampak, tetapi sudah sampai kepada nilai-nilai yang ada dibalik gejala-gejala itu. Analisis nilai inilah yang membantu kita untuk menentukan sikap secara bijaksana dalam menghadapi suatu masalah kongkret. Secara kritis, filsafat hukum berusaha untuk memeriksa gagasan-gagasan tentang hukum yang sudah ada, melihat koherensi, korespodensi dan fungsinya. Filsafat hukum berusaha untuk memeriksa nilai dari pernyataan-pernyataan yang dapat dikategorikan sebagai hukum.
Filsafat itu juga bersifat introspektif atau mempergunakan daya upaya introspektif. Artinya, filsafat tidak hanya menjangkau kedalaman dan keluasan dari permasalahan yang dihadapi tetapi juga mempertanyakan peranan dari dirinya dan dari permasalahan tersebut. Filsafat mempertanyakan tentang struktur yang ada dalam dirinya dan permasalahan yang dihadapinya. Sifat introspektif dari filsafat sesuai dengan sifat manusia yang memiliki hakekat dapat mengambil jarak (distansi) tidak hanya pada hal-hal yang berada di luarnya tetapi juga pada dirinya sendiri.
Sebagai bahan perbandingan, Radhakrisnan dalam bukunya The History of Philosophy, mengemukakan pula tentang arti penting mempelajari filsafat, termasuk dalam hal ini mempelajari filsafat hukum, bukanlah sekedar mencerminkan semangat masa ketika kita hidup, melainkan membimbing kita untuk maju. Fungsi filsafat adalah kreatif, menetapkan nilai, menetapkan tujuan, menentukan arah, dan menuntun pada jalan baru. Filsafat hendaknya mengilhamkan keyakinan kepada kita untuk menopang dunia baru, mencetak manusia-manusia yang tergolong ke dalam berbagai bangsa, ras dan agama itu mengabdi kepada cita-cita mulia kemanusiaan. Filsafat tidak ada artinya sama sekali apabila tidak universal, baik dalam ruang lingkupnya maupun dalam semangatnya.
Adanya karakteristik khusus dari pemikiran filsafat hukum di atas sekaligus juga menunjukkan arti pentingnya. Dengan mengetahui dan memahami filsafat hukum dengan berbagai sifat dan karakternya tersebut, maka sebenarnya filsafat hukum dapat dijadikan salah satu alternatif untuk ikut membantu memberikan jalan keluar atau pemecahan terhadap berbagai krisis permasalahan yang menimpa bangsa Indonesia dalam proses reformasi ini. Tentu saja kontribusi yang dapat diberikan oleh filsafat hukum dalam bentuk konsepsi dan persepsi terhadap pendekatan yang hendak dipakai dalam penyelesaian masalah-masalah yang terjadi. Pendekatan mana didasarkan pada sifat-sifat dan karakter yang melekat pada filsafat hukum itu sendiri.
Dengan pendekatan dan analisis filsafat hukum, maka para para pejabat, tokoh masyarakat, pemuka agama dan kalangan cendekiawan atau siapapun juga dapat bersikap lebih arif dan bijaksana serta mempunyai ruang lingkup pandangan yang lebih luas dan tidak terkotak-kotak yang memungkinkan dapat menemukan akar masalahnya. Tahap selanjutnya diharapkan dapat memberikan solusi yang tepat. Karena penyelesaian krisis yang terjadi di negara kita itu tidak mungkin dapat dilakukan sepotong-potong atau hanya melalui satu bidang tertentu saja, tapi harus meninjau melalui beberapa pendekatan lain sekaligus (interdisipliner.atau multidisipliner).Tidak ada lagi pihak-pihak yang merasa dirinya paling benar atau paling jago dengan pendapatnya sendiri dan menafikan pendapat yang lain. Atau dengan kata lain hanya ingin menangnya sendiri tanpa mau menghargai pendapat orang lain. Karena masing-masing bidang atau cara pandang tertentu, mempunyai kelebihan dan keterbatasannya masing-masing. Justru pandangan-pandangan yang berbeda kalau dapat dikelola dengan baik, dapat dijadikan alternatif penyelesaian masalah yang saling menopang satu sama lain.
Apalagi krisis permasalahan yang melanda bangsa Indonesia sesungguhnya amat kompleks dan multidimensional sifatnya, mulai krisis ekonomi, politik, hukum, pemerintahan serta krisis moral dan budaya, yang satu sama lain berkaitan sehingga diperlukan cara penyelesaian yang terpadu dan menyeluruh yang melibatkan berbagai komponen bangsa yang ada. Dalam konteks ini diperlukan adanya kerjasama dan sinergi yang erat dari berbagai komponen tersebut. Maka pejabat pemerintah harus mendengar aspirasi dari rakyat, para pakar mau mendengar pendapat pakar lainnya, tokoh masyarakat harus saling menghormati terhadap dengan tokoh masyarakat yang lain. Semua bekerja bahu membahu dan menghindarkan diri dari rasa curiga, kebencian dan permusuhan. Dengan pendekatan dan kerangka berfikir filsafati seperti di atas, diharapkan dapat membantu ke arah penyelesaian krisis yang sedang menerpa bangsa Indonesia saat ini.

C. IMPLIKASI FILSAFAT HUKUM DALAM KENYATAAN HIDUP BERMASYARAKAT, BERNEGARA, DAN BERBANGSA
Penerapan Filsafat Hukum dalam kehidupan bernegara mempunyai variasi yang beraneka ragam tergantung pada filsafat hidup bangsa (Wealtanchauung) masing-masing. Di dalam kenyataan suatu negara jika tanpa ideologi tidak mungkin mampu mencapai sasaran tujuan nasionalnya sebab negara tanpa ideologi adalah gagal, negara akan kandas di tengah perjalanan. Filsafat Hidup Bangsa (Wealtanchauung) yang lazim menjadi filsafat atau ideologi negara, berfungsi sebagai norma dasar (groundnorm) (Hans Kelsen, 1998: 118). Nilai fundamental ini menjadi sumber cita dan asas moral bangsa karena nilai ini menjadi cita hukum (rechtidee) dan paradigma keadilan, makna keadilan merupakan substansi kebermaknaan keadilan yang ditentukan oleh nilai filsafat hidup (wealtanchauung) bangsa itu sendiri (Soeryono S., 1978: 19).
Indonesia sebagai negara hukum (Rechtsstaat) pada prinsipnya bertujuan untuk menegakkan perlindungan hukum (iustitia protectiva). Hukum dan cita hukum (Rechtidee) sebagai perwujudan budaya. Perwujudan budaya dan peradaban manusia tegak berkat sistem hukum, tujuan hukum dan cita hokum (Rechtidee) ditegakkan dalam keadilan yang menampilkan citra moral dan kebajikan adalah fenomena budaya dan peradaban. Manusia senantiasa berjuang menuntut dan membela kebenaran, kebaikan, kebajikan menjadi cita dan citra moral kemanusiaan dan citra moral pribadi manusia. Keadilan senantiasa terpadu dengan asas kepastian hukum (Rechtssicherkeit) dan kedayagunaan hokum (Zeweckmassigkeit). Tiap makna dan jenis keadilan merujuk nilai dan tujuan apa dan bagaimana keadilan komutatif, distributif maupun keadilan protektif demi terwujudnya kesejahteraan lahir dan batin warga negara, yang pada hakikatnya demi harkat dan martabat manusia. Hukum dan keadilan sungguh-sungguh merupakan dunia dari trans empirical setiap pribadi manusia. Hukum dan citra hukum (keadilan) sekaligus merupakan dunia nilai dan keseluruhannya sebagai fenomena budaya.
Peranan filsafat hukum memberikan wawasan dan makna tujuan hukum sebagai cita hukum (rechtidee). Cita hokum adalah suatu apriori yang bersifat normatif sekaligus suatu apriori yang bersifatnormatif sekaligus konstitutif, yang merupakan prasyarat transendental yang
mendasari tiap Hukum Positif yang bermartabat, tanpa cita hukum (rechtidee) tak akan ada hukum yang memiliki watak normatif (Rouscoe Pound, 1972: 23). Cita hukum (rechtidee) mempunyai fungsi konstitutif memberi makna pada hukum dalam arti padatan makna yang bersifat konkrit umum dan mendahului semua hukum serta berfungsi membatasi apa yang tidak dapat dipersatukan. Pengertian, fungsi dan perwujudan cita hukum (rechtidee) menunjukkan betapa fundamental kedudukan dan peranan cita-cita hukum adalah sumber genetik dari tata hukum (rechtsorder). Oleh karena itu cita hukum (rechtidee) hendaknya
diwujudkan sebagai suatu realitas. Maknanya bahwa filsafat hukum menjadi dasar dan acuan pembangunan kehidupan suatu bangsa serta acuan bagi pembanguan hukum dalam bidang-bidang lainnya. Kewajiban negara untuk menegakkan cita keadilan sebagai cita hukum itu tersirat didalam asas Hukum Kodrat yang dimaksud untuk mengukur kebaikan Hukum Positif, apakah betul betul telah sesuai dengan aturan yang berasal dari Hukum Tuhan, dengan perikemanusiaan dan perikeadilan dengan kebaikan Hukum Etis dan dengan asas dasar hukum umum abstrak Hukum Filosofis (Notonagoro, 1948: 81).
Hukum berfungsi sebagai pelindungan kepentingan manusia, agar
kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan secara profesional. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung normal, damai, tertib. Hukum yang telah dilanggar harus ditegakkan melalui penegakkan hukum. Penegakkan hukum menghendaki kepastian hukum, kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiable terhadap tindakan sewenang-wenang. Masyarakat mengharapkana danya kepastian hukum karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan tertib, aman dan damai. Masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan penegakkan hukum. Hukum adalah untuk manusia maka pelaksanaan hukum
harus memberi manfaat, kegunaan bagi masyarakat jangan sampai hukum dilaksanakan menimbulkan keresahan di dalam masyarakat. Masyarakat yang mendapatkan perlakuan yang baik, benar akan mewujudkan keadaan yang tata tentrem raharja. Hukum dapat melindungi hak dan kewajiban setiap individu dalam kenyataan yang senyatanya, dengan perlindungan hukum yang kokoh akan terwujud tujuan hukum secara umum: ketertiban, keamanan, ketentraman, kesejahteraan, kedamaian, kebenaran, dan keadilan (Soejadi, 2003: 5).

D. KESIMPULAN
Filsafat hukum adalah induk dari disiplin yuridik, karena filsafat hukum membahas masalah-masalah yang paling fundamental yang timbul dalam hukum.
1. Suatu penjabaran kembali fungsi filsafat hukum di dalam masyarakat adalah perlu yakni berupa pengertian, penyelesaian, pemeliharaan dan pertahanan aturan-aturan yang berlaku, sesuai dengan kebutuhan sosial yang relevan dengan perubahan-perubahan yang ada di dalam masyarakat, sesuai dengan berlakunya Hukum Positif. Filsafat hukum berupaya memecahkan persoalan, menciptakan hukum yang lebih sempurna, serta membuktikan bahwa hukum mampu menciptakan
penyelesaian persoalan-persoalan yang hidup dan berkembang di dalam
masyarakat dengan menggunakan sistim hukum yang berlaku suatu masa, disuatu tempat sebagai Hukum Positif.
2. Tugas filsafat hukum masih relevan untuk menciptakan kondisi hukum yang sebenarnya, sebab tugas filsafat hukum adalah menjelaskan nilai-nilai, dasardasar hukum secara filosofis serta mampu memformulasikan cita-cita keadilan, ketertiban di dalam kehidupan yang relevan dengan kenyataankenyataan hukum yang berlaku, bahkan tidak menutup kemungkinan hokum menyesuaikan, merubah secara radikal dibawah tekanan hasrat manusia yang berubah tiada batas, untuk membangun paradigma hukum baru, guna memenuhi kebutuhan perkembangan hukum pada suatu masa tertentu, suatu waktu dan pada suatu tempat.
3. Rasa keadilan harus diberlakukan dalam setiap lini kehidupan manusia yang terkait dengan masalah hukum, sebab hukum terutama filsafat hokum menghendaki tujuan hukum tercapai yaitu :
a. Mengatur pergaulan hidup secara damai
b. Mewujudkan suatu keadilan
c. Tercapainya keadilan berasaskan kepentingan, tujuan dan kegunaan,
kemanfaatan dalam hidup bersama.
d. Menciptakan suatu kondisi masyarakat yang tertib, aman dan damai.
e. Hukum melindungi setiap kepentingan manusia di dalam masyarakat
sesuai dengan hukum yang berlaku, sehingga terwujud kepastian hokum (rechmatigkeit) dan jaminan hukum (Doelmatigkeit)
f. Meningkatkan kesejahteraan umum (populi) dan mampu memelihara
kepentingan umum dalam arti kepentingan seluruh anggota masyarakat
serta memberikan kebahagiaan secara optimal kepada sebanyak mungkin
orang, dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya
(utilitarianisme).
g. Mempertahankan kedamaian dalam masyarakat atas dasar kebersamaan sehingga terwujud perkembangan pribadi atas kemauan dan kekuasaan, sehingga terwujud “pemenuhan kebutuhan manusia secara maksimal” dengan memadukan tata hubungan filsafat, hukum, dan keadilan.
4. Pemikiran filsafat hukum tidak hanya sekedar bersifat “dasariah” tentang
segala sesuatu pada umumnya atau hukum khususnya, tetapi berkaitan
dengan ontologi hukum, epistimologi hukum, axiologi hukum yang tidak lain terkait dengan :
a. Pentingnya hukum bagi manusia
b. Aliran-aliran yang mendasari pandangan filsafat
c. Hukum dan perkembangan masyarakat
d. Masalah-masalah kemasyarakatan dan teori hokum
e. Perkembangan hukum dalam masyarakat
f. Relevansi pemikiran hukum dengan rasa keadilan yang berkaitan dengan Hukum Positif.
5. Rasa keadilan yang dirumuskan hakim mengacu pada pengertian-pengertian aturan baku yang dapat di pahami masyarakat dan berpeluang untuk dapat dihayati, karena rasa keadilan merupakan “soko guru” dari konsp-konsep “the rule of law”. Hakim merupakan lambang dan benteng dari hukum jika terjadi kesenjangan rasa keadilan. Jika rasa keadilan hakim dan rasa keadilan masyarakat tidak terjadi maka semakin besar ketidakpeduliannya terhadap hukum, karena pelaksanaan hukum menghindari anarki.
6. Penegakan hukum tetap dikaitkan dengan fungsi hukum, filsafat negara, dan ideologi negara, karena ketiganya berperan dalam pembangunan suatu bangsa. Filsafat hidup bangsa (weltanschauung) lazimnya menjadi filsafat negara atau Ideologi Negara, sebagai norma dasar (groundnorm). Norma dasar ini menjadi sumber cita dan moral bangsa karena nilai ini menjadi Cita Hukum dan paradigma keadilan suatu bangsa sesuai dengan hukum yang berlaku (Hukum Positif). Penjabaran fungsi filsafat hukum terhadap permasalahan keadilan merupakan hal yang sangat fundamental karena keadilan merupakan salah satu tujuan dari hukum yang diterapkan pada Hukum Positif. Hukum merupakan alat untuk mengelola masyarakat (Law as a tool of social engineering, menurut Roscoe Pound), pembangunan, penyempurna kehidupan bangsa, negara dan masyarakat demi terwujudnya rasa keadilan bagi setiap individu, yang berdampak positif bagi terwujudnya “kesadaran hukum”. Ini merupakan cara untuk menjabarkan fungsi hukum yang masih relevan dengan kehidupan peraturan-perundang-undangan yang berlaku (Hukum Positif).


E. DAFTAR PUSTAKA
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995.

Sugiyanto Darmadi, Kedudukan Ilmu Hukum dalam Ilmu dan Filsafat, Mandar Maju, Bandung, 1998.

Lili Rasyidi, Filsafat Hukum, Apakah Hukum Itu? Cet. ke-4, Remaja Karya, Bandung 1988.
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Recent Post

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. abang tampan - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger