About Me

Foto Saya
aRie IMTY
Bandar Lampung, Lampung, Indonesia
saya adalah saya, kamu adalah kamu, saya bukan siapa-siapa, melainkan saya adalah diri saya sendiri.
Lihat profil lengkapku

Perjalanan Hidup

Hidup adalah perjuangan...
setiap detik yang kita lalui adalah peringatan..
Peringatan untuk selalu ingat akan sebuah Tanggung jawab...

Title

Pengikut

Home » » BUKAN BANGSA INDONESIA JIKA TANPA KONFLIK

BUKAN BANGSA INDONESIA JIKA TANPA KONFLIK

aRie IMTY | 23.09 | 0 komentar

BUKAN BANGSA INDONESIA JIKA TANPA KONFLIK

A. PENDAHULUAN
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.
Membicarakan masalah teori konflik tentu saja tidak bisa lepas dari teori sosiologi. Di dalam Perkembangan dan Paradigma utama teori sosiologi terdapat tiga paradigma utama yaitu paradigma organik-struktur-fungsional, Konflik Paradigma radikal dan Paradigma perilaku-psikologi sosial. Kemudian pada akhirnya teori sosiologi sebagai fungsi rasiolnalitas dan perubahan lingkungan sosial berbicara tentang tiga konteks dalam kemasyarakatan yaitu konteks teori organik, konteks teori konflik dan konteks perilaku sosial. Adapun lebih jauhnya dalam tulisan ini yang akan dibahas lebih dalam adalah mengenai teori konflik, para pemikirnya dan konteksnya dalam masyarakat. Konteks khusus di belakang teori konflik didefinisikan sebagai berikut:
1) Aspek aspek yang ditekankan oleh filsafat pencerahan adalah kemajuan masyarakat, evolusi sosial, pentingnya hakikat manusia dan rasionalitas umat manusia, serta kepercayaan dalam kemungkinan berubahnya sistem kerja masyarakat untuk cari pembaharuan dan memaksimalkan kebebasan dalam kebahagiaan (seperti idealisme)
2) Pengaruh darwinisme sosial, yakni penerapan konsep evolusi secara biologis dalam masyarakat yang menghadirkan konflik sebagai bagian dari evolusi sosial dan manusia.
3) Pengalaman dari perubahan dan konflik tersebut jauh dari homogenitas. Namun, sebagian para ahli teori itu konservatif jika dibandingkan dengan yang lebih radikal.
Teori konflik selalu melihat kekuasaan tidak hanya sebagai kelangkaan dan pembagian tak merata, dan oleh sebab itu satu sumber konflik, dan juga sebagai paksaan penting. Ketiga aspek khusus teori konflik adalah bahwa nilai dan ide-ide dilihat sebagai senjata yang digunakan oleh kelompok-kelompok berbeda mempermudah tujuan mereka, daripada sebagai cara-cara pendefinisian satu identitas masyarakat keseluruhan dan tujuannya. Sampai di sini, sesungguhnya analisis konflik didominasi oleh dua aliran besar, positivisme atau empiris analitis dan tradisi ilmu sosial kritis. Konflik- konflik yang terjadi di Negara kita jelas sangat dipengaruhi oleh beberapa factor yang mendasari terjadinya konflik. Apakah hal ini sudah menjadi bagian dari masyarakat, ataukah sebagai kebutuhan akan konflik itu sendiri, pertanyaan menggelitik terlintas di benak penulis, apakah hal ini benar jika bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya akan konflik?

B. ANALISIS MASALAH
Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menbang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka. Menurut Dahrendorf, konflik dibedakan menjadi 6 macam : konflik antara atau dalam peran sosial (intrapribadi), misalnya antara peranan-peranan dalam keluarga atau profesi (konflik peran (role) konflik antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar gank). Konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan massa). konflik antar satuan nasional (kampanye, perang saudara) konflik antar atau tidak antar agama konflik antar politik.
Menurut Definisi kerja Coser konflik adalah "perjuangan mengenai nilai serta tuntutan atas status, kekuasaan dan sumber daya yang yang bersifat langka dengan maksud menetralkan, mencederai atau melenyapkan lawan. Kajian Coser terbatas pada fungsi positif dan konflik, yaitu dampak yang mengakibatkan peningkatan dalam adaptasi, hubungan sosial atau kelompok tertentu (Kamanto Sunarto: 243). Pandangan pendekatan konflik berpangkal pada anggapan-anggapan dasar berikut ini :
1. Setiap masyarakat senantiasa berada di dalam proses perubahan yang tidak pernah berahir, atau dengan pe-nataan lain, perubahan sosial merupakan gejala yang melekat di dalam setiap masyarakat.
2. Setiap masyarakat mengandung konflik-konflik di dalam dirinya, atau dengan
perkataan lain konflik adalah merupakan gejala yang melekat di dalam setiap masyarakat.
3. Setiap unsur di dalam suatu masyarakat memberikan sumbangan bagi terjadinya disintegrasi dan perubahan-perubahan sosial.
4. Setiap masyarakat terintegrasi di atas penguasaan atau dominasi oleh sejumlah orang atas sejumlah orang yang lain (Nasikun: 16-17).
Teori konflik melihat masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh pertentangan yang terus menerus diantara unsur-unsurnya. Teori konflik melihat bahwa setiap elemen institusi memberikan sumbangan terhadap disintegrasi sosial.Teori konflik menilai keteraturan yang terdapat dalam masyarakat disebabkan karena adanya tekanan atau paksaan kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa. Konsep sentral teori ini adalah wewenang dan posisi. Tugas utama menganalisa konflik adalah mengidentifikasi berbagai peranan kekuasaan dalam masyarakat. Dalam situasi konflik seseorang individu akan menyesuaikan diri dengan peranan yang diharapkan oleh golongannya (George Ritzer: 29-30). Aspek terakhir konflik Dahrendorf adalah mata rantai antara konflik dan perubahan sosial. Konflik menurutnya memimpin kearah perubahan dan pembangunan. Dalam situasi konflik golongan yang terlibat melakukan tindakan-tindakan untuk mengadakan perubahan dalam struktur sosial. Kalau konflik itu terjadi secara hebat maka perubahan yang akan terjadi perubahan yang timbul akan bersifat radikal. Begitu pula dengan konflik itu disertai oleh penggunaan kekerasan maka perubahan struktural akan efektif (George Ritzer: 33). Teori konflik menurut Karl Marx terletak pada teorinya mengenai kelas, Marx berpendapat bahwa sejarah masyarakat hingga kini adalah sejarah perjuangan kelas, dengan munculnya kapitalisme terjadi perpisahan tajam antara mereka yang memiliki alat produksi dan mereka yang hanya mempunyai tenaga. Perkembangan kapitalisme memperuncing kontradiksi antara kedua kategori sosial hingga pada akhirnya terjadi konflik diantara dua kelas. (Kamanto Sunarto: 241).
Menurut Ralf Dahrendorf, dalam tulisannya mengenai kelas dan konflik kelas dalam masyarakat industri. Menurutnya perubahan sosial tidak hanya datang dari dalam tetapi juga diluar masyarakat; bahwa perubahan dari dalam tidak selalu disebabkan konflik sosial dan bahwa disamping konflik kelas terdapat pula konflik sosial yang berbentuk lain, ia pun mengamati bahwa konflik tidak selalu menghasilkan evolusi, selanjutnya Dahrendorf mencatat bahwa kekuasaan politik selalu mengikuti kekuasaan dibidang industri. Menurut teori konflik versi Dahrendorf masyarakat terdiri atas organisasi organisasi yang didasarkan pada kekuasaan (dominasi satu pihak oleh pihak yang lain atas dasar paksaan) yang dinamakannya "Imperatively Coordinate Associations" (asosiasi yang dikoordinasikan secara paksa). Karena kepentingan kedua pihak dalam asosiasiasosiasi tersebut berbeda pihak penguasa berkepentingan untuk mempertahankan kekuasaan, sedangkan pihak yang dikuasai berkepentingan untuk memperoleh kekuasaan, maka dalam asosiasi akan terjadi polarisasi dan konflik antar dua kelompok. Keberhasilan kelompok yang dikuasai untuk merebutkekuasaan dalam asosiasi akan menghasilkan perubahan sosial.
Teori konflik menyatakan bahwa barang yang berharga, seperti kekuasaan dan wewenang, benda-benda material, dan apa yang menghasilkan kenikmatan, agak langka sehingga tidak dapat di bagi sama rata diantara rakyat. Maka dengan telah muncul golongan-golongan dan kelompok-kelompok oposisi, yang merasa diri dirugikan dan meng-inginkan porsi lebih besar dari dirinya sendiri atau hendak menghalang-halangi atau mencegah pihak lain dari memperoleh dan menguasai barang itu (J. Veeger: 92).

C. PEMBAHASAN MASALAH
Jika melihat fakta sejarah terbentuknya bangsa Indonesia, dan asal muasal masyarakatnya jelas ironis sekali dan berbanding terbalik dengan keadaan yang sering terjadi saat-saat ini. Pancasila sebagai pedoman bangsa, tak lagi sebagai pedoman amalan bagi sebagaian rakyatnya. Persatuan Indonesia yang merupakan bagian dari sila pancasila hanya sebuah kalimat dan kata-kata semu belaka. Sepertinya kita sudah lupa akan cikal bakal bangsa ini, bangsa yang tumbuh, ada, dan merdeka adalah dilandasi oleh segala perbedaan. Tanpa melihat ras, suku, dan agama, para pahlawan bangsa berjuang gigih membela tanah air ini dari para penjajah. Untuk lepas dari penderitaan dan memperoleh kemerdekaan yang diakui oleh seluruh dunia.
Charles W. Mills dalam risetnya tentang struktur kekuasaan di Amerika (The Power Elite, 1956). Mills tidak sepakat terhadap dua hubungan konflik yang hanya terdiri dari dimensi ekonomi, dia lebih sepakat terhadap paparan Weber tentang terbaginya stratifikasi sosial kedalam tiga dimensi, ekonomi, prestis, dan politik. Mills sendiri melihat hubungan konflik, yang mengandaikan hubungan dominasi, sangat dipengaruhi oleh ekonomi dan politik. Mills melakukan riset terhadap struktur kekuasan Amerika yang dari penelitian itu diperoleh suatu hubungan dominatif, dimana stukrur sosial dikuasi elit dan rakyat adalah pihak ada di bawah kontrol politisnya. Hubungan dominatif itu muncul karena elit-elit berusaha memperoleh dukungan politis rakyat demi kepentingan mobilitas vertikal mereka secara ekonomi dan politik. Elit-elit itu adalah militer, politisi, dan para pengusaha (ekonomi).Mills menemukan bahwa mereka, para elit kekuasaan, mempunyai kencederungan untuk kaya, baik diperoleh melalui investasi atau duduk dalam posisi eksekutif. Satu hal penting lagi, mereka yang termasuk dalam elit kekuasaan sering kali pindah dari satu bidang yang posisinya tinggi dalam bidang yang lain. Kasus Amerika, Mills memberi contoh Jenderal Eisenhower yang kemudian menjadi Presiden Eisenhower. Ada contoh lain yang diungkapkan Mills, seperti seorang laksmana yang juga seorang bankir, seorang direktur, dan menjadi pimpinan perusahaan ekonomi terkemuka. Elit-elit kekuasaan mempunyai keinginan besar terhadap perkembangan diri mereka dan tentu saja secara politis mereka membutuhkan dukungan dari rakyat. Media massa yang mempunyai posisi dan peran strategis dalam menyampaikan isu-isu nasional merupakan alat bagi elit kekuasaan untuk meraih dukungan itu, yaitu melalui proses komunikasi informasi satu arah bukan dialog. Proses itu merupakan bagian dari indoktrinisasi dan persuasi elit-elit kekuasaan. Masyarakat hanya bersifat pasif sebagai penadah informasi-informasi elit kekuasan. Satu hal penting lainnya, rakyat tidak cukup mengetahui realitas atau kebenaran sehingga begitu mudah menjadi salah satu pendukung dari isu atau informasi yang disebarkan elit melalui media massa. Mills menyebut mereka sebagai masyarakat massa (mass society). Masyarakat massa seperti kerbau yang dicocok hidungnya karena tidak memiliki pengetahuan dan kesadaran yang sejati tentang isi dari informasi atau isu-isu para elit. Kita bisa menyaksikan di Indonesia elit-elit kekuasaan yang disebutkan Mills dari golongan politisi, militer, dan pengusaha ekonomi mempunyai karakter dan gerakan yang serupa. Elit-elit kekuasaan di Indonesia menciptakan hubungan dominatif antara mereka dan rakyat. Mereka juga bergerak mencapai posisi yang tinggi ke posisi (lebih) tinggi lainnya. Pada pemilihan presiden tahun 2004 ini dapat ditemukan dua orang elit dari militer berusaha mencapai posisi yang lebih tinggi dari yang sebelumnya, yaitu presiden atau wakil presiden. Ada dua orang calon wakil presiden yang sebelumnya merupakan elit pengusaha dan pejabat pemerintahan. Ada juga yang dulunya hanya aktifis politik dan bersuami pengusaha bahkan telah menjadi presiden. Tampaknya jelas sekali bahwa para elit kekuasaan pada saat ini tengah melakukan pergerakan mendapatkan posisi yang lebih tinggi dari sebelumnya untuk mobilitas vertikal secara ekonomi maupun politik. Analisis kritis Mills sesungguhnya tidak langsung disebutkan sebagai bangunan teori konflik. Tetapi ciri-ciri penting dalam analisisnya menunjukkan hubungan dominatif dalam stuktur sosial antara kelompok-kelompok elit yang berusaha menambah kekayaannya dengan masyarakat. Sampai di sini, secara singkat, dapat ditemukan bahwa teori Mills tentang elit adalah pembuktian terhadap teorinya sebagai bagian dari teori konflik beraliran kritis.
Menurut teori konflik versi Dahrendorf masyarakat terdiri atas organisasi-organisasi yang didasarkan pada kekuasaan (dominasi satu pihak oleh pihak yang lain atas dasar paksaan) yang dinamakannya "Imperatively Coordinate Associations" (asosiasi yang dikoordinasikan secara paksa). Karena kepentingan kedua pihak dalam asosiasiasosiasi
tersebut berbeda pihak penguasa berkepentingan untuk mempertahankan
kekuasaan, sedangkan pihak yang dikuasai berkepentingan untuk memperoleh kekuasaan, maka dalam asosiasi akan terjadi polarisasi dan konflik antar dua kelompok. Keberhasilan kelompok yang dikuasai untuk merebutkekuasaan dalam asosiasi akan menghasilkan perubahan sosial.
Teori konflik menyatakan bahwa barang yang berharga, seperti kekuasaan dan wewenang, benda-benda material, dan apa yang menghasilkan kenikmatan, agak langka sehingga tidak dapat di bagi sama rata diantara rakyat. Maka dengan telah muncul golongan-golongan dan kelompok-kelompok oposisi, yang merasa diri dirugikan dan meng-inginkan porsi lebih besar dari dirinya sendiri atau hendak menghalang-halangi atau mencegah pihak lain dari memperoleh dan menguasai barang itu (J. Veeger: 92). Konflik horizontal menyebar di Indonesia seperti wabah penyakit menular. Sistem politik Indonesia sejak reformasi 1998 yang diharapkan dapat merubah wacana demokrasi Indonesia baru, ternyata harus dibayar mahal. Kepentingan politik masih dominant mengancam, sehingga batas demokrasi, kebebasan Pers dan supermasi sipil dan hukum menjadi kebablasan dan formalistik. Kebijakan ekonomi kerakyatan, ternyata tak mendapat simpati masyarakat, karena pada prakteknya semua tak menyentuh prioritas kepentingan publik. Nilai rupiah dan fluktuasi harga tidak menentu, kesulitan mencari nafkah, pekerjaan sehingga jurang antara kaya dan miskin mengaga sangat lebar.
Pengungsian dan kelaparan mencapai 1 juta jiwa akibat konflik yang terjadi di berbagai daerah dalam negeri, seperti Aceh, Sambas, NTT, Ambon, Sulawesi Tengah, dan Poso. Di sana sini banyak terjadi pergolakan politik yang menimbulkan konflik sosial. Masyarakat kehilangan pijakan dan kepercayaan diri, emosi sosial meningkat tak tahu
akan menyalahkan siapa. Akibnatnya antar warga masyarakat saling curiga, solidaritas sosial menurun, sehingga timbul tragedi kemanusiaan yang panjang dan pada akhirnya mengancam integritas bangsa secara global. Sesuai dengan perkembangan kondisi sosial dan perubahan kepentingan masyarakat, maka lumrah kalau adat istiadat itu selalu berubah sesuai dengan tuntutan hidup. Akan tetapi bukan berarti hukum adat masyarakat itu tak berlaku atau mati, melainkan ia tetap hidup dalam jiwa mereka. Jadi perubahan adat tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak memperhatikan eksistensi adat masyarakat setempat, apalagi menyangkut kepentingan berbagai pihak untuk mengubah penguasaan dan pemanfaatan tanah yang ada diwilayah mereka. Sebagai kenyataan pengalaman akhir-akhir ini menunjukkan adanya konflik-konflik soal tanah yang terjadi di sekitar kegiatan pembangunan. Oleh karena itu perlu penataan posisi hukum adat terasa semakin mendesak dan segera dilakukan. Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi kemungkinan semakin meningkatnya konflik sehubungan dengan terus bergeraknya kegiatan-kegiatan pembangunan dari berbagai sektor yang cenderung menyentuh kepentingan masyarakat adat. Hukum adat yang sebetulnya majemuk itu bersifat "terbuka", mengedepankan upaya musyawarah antar orang-orang yang berkepentingan, dan partisipatif. Sebenarnya hukum adat cukup adaptif dan lentur terhadap perubahan, sepanjang perubahanperubahan itu melalui hasil konsensus bersama, melalui cara-cara yang terbuka dalam musyawarah. Prinsip Hukum adat selalu mengutamakan keadilan bagi sesama warga yang mendukungnya. Oleh karena itu hukum adat mesti diakui, dipelihara dan dibangun melalui proses pemahaman yang berlandaskan pada tujuan untuk maju dan sejahtera bersama secara merata.

D. KESIMPULAN
Para pakar teori telah mengklaim bahwa pihak-pihak yang berkonflik dapat memghasilkan respon terhadap konflik menurut sebuah skema dua-dimensi; pengertian terhadap hasil tujuan kita dan pengertian terhadap hasil tujuan pihak lainnya. Skema ini akan menghasilkan hipotesa sebagai berikut:
Pengertian yang tinggi untuk hasil kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk mencari jalan keluar yang terbaik.
Pengertian yang tinggi untuk hasil kita sendiri hanya akan menghasilkan percobaan untuk "memenangkan" konflik.
Pengertian yang tinggi untuk hasil pihak lain hanya akan menghasilkan percobaan yang memberikan "kemenangan" konflik bagi pihak tersebut.
Tiada pengertian untuk kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk menghindari konflik. Karena sejatinya konflik-konflik yang terjadi sangat meresahkan kehidupan bermasyarakat di inonesia ini. Hasil dari sebuah konflik adalah sebagai berikut :
meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (ingroup) yang mengalami konflik dengan kelompok lain.
keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai.
perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbulnya rasa dendam, benci, saling curiga dll.
kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia.
dominasi bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik.
Semoga cetusan penulis tentang fenomena konflik yang terjadi di Negara ini berangsur-angsur cepat mereda, sehingga integritas bangsa dan persatuan kesatuan warga Negara Indonesia senantiasa terjaga.

E. DAFTAR PUSTAKA
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.

Marx dan Weber , Wallace & Wolf, 1986.

Charles W. Mills, struktur kekuasaan di Amerika , The Power Elite, 1956.

Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Antar Golongan, Sumur Bandung, Cet-8, 1985.



Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Recent Post

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. abang tampan - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger