About Me

Foto Saya
aRie IMTY
Bandar Lampung, Lampung, Indonesia
saya adalah saya, kamu adalah kamu, saya bukan siapa-siapa, melainkan saya adalah diri saya sendiri.
Lihat profil lengkapku

Perjalanan Hidup

Hidup adalah perjuangan...
setiap detik yang kita lalui adalah peringatan..
Peringatan untuk selalu ingat akan sebuah Tanggung jawab...

Title

Pengikut

Home » » ”DAMPAK PROGRAM KELUARGA BERENCANA TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT”

”DAMPAK PROGRAM KELUARGA BERENCANA TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT”

aRie IMTY | 23.14 | 1komentar

”DAMPAK PROGRAM KELUARGA BERENCANA TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT”

A. PENDAHULUAN
seorang wanita kader KB dengan penuh keyakinan menasihati seorang ibu. Katanya: Kalau mau bahagia, ikutlah KB. Lihat tuh.. Bu Sariman, anaknya lima. Sengsara. Seorang ibu setengah baya bercerita singkat: Nggak KB... malu rasanya. Ikut KB, hidup terjamin. Pernyataan tersebut merupakan cuplikan kecil hasil penelitian yang dilakukan baru-baru ini. Respons seperti di atas banyak sekali muncul ketika ditanyakan "bagaimana peran KB". Seorang peneliti di lapangan merasa sangat jenuh mendengarkan jawaban serupa sehingga ia harus mencari cara lain untuk menanyakannya. Apakah pertanyaan tersebut salah?
Pada dasarnya, pertanyaan tersebut tidak keliru. Keluarga berencana telah dipraktekkan bertahun-tahun oleh begitu banyak orang. Karenanya, wajar bila sekarang diteliti dampaknya. Jawaban atas pertanyaan tersebut juga sangat logis. Orang pada umumnya menjelaskan bahwa KB bertujuan untuk mengontrol jumlah anak. Secara ekonomis, jumlah anak yang sedikit berarti mengurangi beban keluarga, setidak-tidaknya beban ekonomi keluarga tersebut lebih ringan dibandingkan dengan bila ia memiliki anak yang lebih banyak. Permasalahannya, penjelasan tersebut terlalu sederhana, sementara hubungan antara jumlah anak dengan beban ekonomi tidak sederhana. Dalam keadaan ketika kondisi ekonomi keluarga tidak berubah, jumlah anak menjadi faktor yang berperan besar dalam menentukan kesejahteraan keluarga. Bila ekonomi rumah tangga memburuk, jumlah anak yang tetap pun akan menjadi beban yang terasa makin berat, apalagi bila anaknya bertambah. Bila keadaan ekonomi rumah tangga bertambah baik, jumlah anak yang tetap atau lebih kecil bisa dirasakan menjadi faktor yang ikut meningkatkan kesejahteraan keluarga. Logikanya, bila jumlah anak dalam keluarga bertambah pun, mungkin tidak akan menjadi beban bila peningkatan ekonominya lebih pesat dibandingkan dengan penambahan jumlah anak.
Dengan demikian, harus diingat bahwa jumlah anak yang sedikit tidak secara otomatis menyebabkan peningkatan kesejahteraan. Bahkan, sebagai faktor pendorong dalam proses peningkatan kesejahteraan pun bisa tidak sebesar yang dibayangkan. Banyak catatan yang harus diperhatikan untuk menyimpulkannya.

B. RUMUSAN MASALAH
1.Hampir semuanya sepakat bahwa harapan dan dorongan hidup yang dimaksud menuju pada satu arah utama, yaitu kesejahteraan dan kebahagiaan. Apakah dalam hal ini program KB yang di galakkan pemerintah bisa menjadi sebuah harapan bagi masyarakat?
2.Dengan satu keyakinan bahwa keluarga berencana merupakan cara yang sangat penting untuk meraih kesejahteraan, maka disusunlah program dan dibuat institusi yang menanganinya, yaitu Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Apakah posisi penting dari BKKBN dalam mewujudkan harapan dari program tersebut?

C. KONSEP TEORI
Undang Undang Pelayanan Publik (secara resmi bernama Undang Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik) adalah undang undang yang mengatur tentang prinsip-prinsip pemerintahan yang baik yang merupakan efektifitas fungsi-fungsi pemerintahan itu sendiri. perlayanan publik yang dilakukan oleh pemerintahan atau koporasi yang efektif dapat memperkuat demokrasi dan hak asasi manusia, mempromosikan kemakmuran ekonomi, kohesi sosial, mengurangi kemiskinan, meningkatkan perlindungan lingkungan, bijak dalam pemanfaatan sumber daya alam, memperdalam kepercayaan pada pemerintahan dan administrasi publik. Negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik yang merupakan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, membangun kepercayaan masyarakat atas pelayanan publik yang dilakukan penyelenggara pelayanan publik merupakan kegiatan yang harus dilakukan seiring dengan harapan dan tuntutan seluruh warga negara dan penduduk tentang peningkatan pelayanan publik, sebagai upaya untuk mempertegas hak dan kewajiban setiap warga negara dan penduduk serta terwujudnya tanggung jawab negara dan korporasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik, diperlukan norma hukum yang memberi pengaturan secara jelas, sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas dan menjamin penyediaan pelayanan publik sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik serta untuk memberi perlindungan bagi setiap warga negara dan penduduk dari penyalahgunaan wewenang di dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Dalam Undang Undang Pelayanan Publik terdapat pengartian; Pelayanan publik merupakan kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik, Penyelenggara pelayanan publik atau Penyelenggara merupakan setiap institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik, Atasan satuan kerja Penyelenggara merupakan pimpinan satuan kerja yang membawahi secara langsung satu atau lebih satuan kerja yang melaksanakan pelayanan publik, Organisasi penyelenggara pelayanan publik atau Organisasi Penyelenggara merupakan satuan kerja penyelenggara pelayanan publik yang berada di lingkungan institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik, Pelaksana pelayanan publik atau Pelaksana merupakan pejabat, pegawai, petugas, dan setiap orang yang bekerja di dalam Organisasi Penyelenggara yang bertugas melaksanakan tindakan atau serangkaian tindakan pelayanan publik, Masyarakat merupakan seluruh pihak, baik warga negara maupun penduduk sebagai orang-perseorangan, kelompok, maupun badan hukum yang berkedudukan sebagai penerima manfaat pelayanan publik, baik secara langsung maupun tidak langsung, Standar pelayanan merupakan tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai kewajiban dan janji Penyelenggara kepada masyarakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan terukur, Maklumat pelayanan merupakan pernyataan tertulis yang berisi keseluruhan rincian kewajiban dan janji yang terdapat dalam standar pelayanan, Sistem informasi pelayanan publik atau Sistem Informasi merupakan rangkaian kegiatan yang meliputi penyimpanan dan pengelolaan informasi serta mekanisme penyampaian informasi dari Penyelenggara kepada masyarakat dan sebaliknya dalam bentuk lisan, tulisan Latin, tulisan dalam huruf Braile, bahasa gambar, dan/atau bahasa lokal, serta disajikan secara manual ataupun elektronik, Mediasi merupakan penyelesaian sengketa pelayanan publik antarpara pihak melalui bantuan, baik oleh ombudsman sendiri maupun melalui mediator yang dibentuk oleh ombudsman, Ajudikasi merupakan proses penyelesaian sengketa pelayanan publik antarpara pihak yang diputus oleh ombudsman, Menteri merupakan menteri dimana kementerian berada yang bertanggung jawab pada bidang pendayagunaan aparatur negara, Ombudsman merupakan sebuah lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik, baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan hukum milik negara serta badan swasta, maupun perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.
- Asas dan tujuan
Undang-Undang ini berasaskan pada kepentingan umum, adanya kepastian hukum, adanya kesamaan hak, adanya keseimbangan hak dan kewajiban, keprofesionalan, partisipatif, persamaan dalam perlakuan/tidak diskriminatif, keterbukaan, akuntabilitas, fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, ketepatan waktu dan kecepatan, kemudahan dan keterjangkauan dan bertujuan agar batasan dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung jawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik, menjalankan sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang layak sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik dalam penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam mendapatkan penyelenggaraan pelayanan publik.
- Pembina dan penanggung jawab
Pembina dalam penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan oleh pimpinan lembaga negara, pimpinan kementerian, pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian, pimpinan lembaga komisi negara atau yang sejenis, dan pimpinan lembaga lainnya terhadap pimpinan lembaga negara dan pimpinan lembaga komisi negara atau yang sejenis yang dibentuk berdasarkan undang-undang, gubernur pada tingkat provinsi melaporkan hasil perkembangan kinerja pelayanan publik masing-masing kepada dewan perwakilan rakyat daerah provinsi dan menteri dan bupati pada tingkat kabupaten beserta walikota pada tingkat kota wajib melaporkan hasil perkembangan kinerja pelayanan publik masing-masing kepada dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota dan gubernur dan penanggung jawab mempunyai tugas untuk mengoordinasikan kelancaran penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan standar pelayanan pada setiap satuan kerja, melakukan evaluasi penyelenggaraan pelayanan publik dan melaporkan kepada pembina pelaksanaan penyelenggaraan pelayanan publik di seluruh satuan kerja unit pelayanan publik, Menteri yang bertanggung jawab di bidang pendayagunaan aparatur negara bertugas merumuskan kebijakan nasional tentang pelayanan publik, memfasilitasi lembaga terkait untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi antarpenyelenggara yang tidak dapat diselesaikan dengan mekanisme yang ada, melakukan pemantauan dan evaluasi kinerja penyelenggaraan pelayanan publik dengan mengumumkan kebijakan nasional tentang pelayanan publik atas hasil pemantauan dan evaluasi kinerja, serta hasil koordinasi, membuat peringkat kinerja penyelenggara secara berkala; dan dapat memberikan penghargaan kepada penyelenggara dan penyelenggara dan seluruh bagian organisasi penyelenggara bertanggung jawab atas ketidakmampuan, pelanggaran, dan kegagalan penyelenggaraan pelayanan.
- Ruang Lingkup
Dalam perundangan-undangan pelayanan publik ini meliputi pelayanan barang publik dan jasa publik serta pelayanan administratif yaitu pendidikan, pengajaran, pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi, lingkungan hidup, kesehatan, jaminan sosial, energi, perbankan, perhubungan, sumber daya alam, pariwisata. Pelayanan publik ini mengatur pengadaan dan penyaluran barang publik yang dilakukan oleh instansi pemerintah yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah yang dilakukan oleh suatu badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan/atau kekayaan daerah yang dipisahkan dan pembiayaannya tidak bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah atau badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan/atau kekayaan daerah yang dipisahkan, tetapi ketersediaannya menjadi misi negara.
Pelayanan atas jasa publik merupakan penyediaan jasa publik oleh instansi pemerintah yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah, suatu badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan/atau kekayaan daerah yang dipisahkan dan pembiayaannya tidak bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah atau badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan/atau kekayaan daerah yang dipisahkan, tetapi ketersediaannya menjadi misi negara.
Skala kegiatan pelayanan publik didasarkan pada ukuran besaran biaya tertentu yang digunakan dan jaringan yang dimiliki dalam kegiatan pelayanan publik untuk dikategorikan sebagai penyelenggara pelayanan publik yaitu tindakan administratif pemerintah yang diwajibkan oleh negara dan diatur dalam peraturan perundang-undangan dalam rangka mewujudkan perlindungan pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda termasuk tindakan administratif oleh instansi nonpemerintah yang diwajibkan oleh negara dan diatur dalam peraturan perundang-undangan serta diterapkan berdasarkan perjanjian dengan penerima pelayanan.
- Organisasi
Organisasi Penyelenggara berkewajiban menyelenggarakan pelayanan publik sesuai dengan tujuan pembentukan meliputi pelaksanaan pelayanan, pengelolaan pengaduan masyarakat, pengelolaan informasi, pengawasan internal, penyuluhan kepada masyarakat dan pelayanan konsultasi.
Pelayanan publik atau pelayanan umum dapat didefinisikan sebagai segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Penyelenggara
Berdasarkan organisasi yang menyelenggarakannya, pelayanan publik atau pelayanan umum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1.Pelayanan publik atau pelayanan umum yang diselenggarakan oleh organisasi privat, adalah semua penyediaan barang atau jasa publik yang diselenggarakan oleh swasta, seperti misalnya rumah sakit swasta, PTS, perusahaan pengangkutan
milik swasta.
1.Pelayanan publik atau pelayanan umum yang diselenggarakan oleh organisasi publik. Yang dapat dibedakan lagi menjadi :
1.Yang bersifat primer dan,adalah semua penye¬diaan barang/jasa publik yang diselenggarakan oleh pemerintah yang di dalamnya pemerintah merupakan satu-satunya penyelenggara dan pengguna/klien mau tidak mau harus memanfaatkannya. Misalnya adalah pelayanan di kantor imigrasi, pelayanan penjara dan pelayanan perizinan.
2.Yang bersifat sekunder, adalah segala bentuk penyediaan barang/jasa publik yang diselenggarakan oleh pemerintah, tetapi yang di dalamnya pengguna/klien tidak harus mempergunakannya karena adanya beberapa penyelenggara pelayanan.
- Karakteristik
Ada lima karakteristik yang dapat dipakai untuk membedakan ketiga jenis penyelenggaraan pelayanan publik tersebut, yaitu:
1.Adaptabilitas layanan. Ini berarti derajat perubahan layanan sesuai dengan tuntutan perubahan yang diminta oleh pengguna.
2.Posisi tawar pengguna/klien. Semakin tinggi posisi tawar pengguna/klien, maka akan semakin tinggi pula peluang pengguna untuk meminta pelayanan yang lebih baik.
3.Type pasar. Karakteristik ini menggambarkan jumlah penyelenggara pelayanan yang ada, dan hubungannya dengan pengguna/klien.
4.Locus kontrol. Karakteristik ini menjelaskan siapa yang memegang kontrol atas transaksi, apakah pengguna ataukah penyelenggara pelayanan. Sifat pelayanan. Hal ini menunjukkan kepentingan pengguna atau penyelenggara pelayanan yang lebih dominan.

D. PEMBAHASAN TEORI
A. HARAPAN MASYARAKAT TERHADAP PROGRAM KB
Program KB dari waktu ke waktu mengalami pasang surut, meski kesertaan masyarakat untuk menjadi peserta KB terus bertambah, tidak terkecuali ketika krisis ekonomi mendera Indonesia tahun 1998 lalu. Ini sebuah indikasi kuat bahwa perubahan sosial politik dan ekonomi ternyata tidak berimbas pada tekad masyarakat untuk tetap menjadi peserta KB meski harus dihadapkan pada kesulitan ekonomi yang menghimpit. Sampai tahun 2003 lalu, Total Fertility Rate (TFR) telah dapat diturunkan menjadi 2,6 per ibu atau rata-rata keluarga memiliki anak antara 2 sampai 3 orang dibandingkan tahun 1970- an yang masih bertengger antara 5 sampai 6 anak. Laju pertumbuhan penduduk juga berhasil ditekan menjadi 1,49 per tahun dari 2,34 per tahun pada periode 1970-1980. Bahwa tujuan
KB adalah memperkaya kehidupan manusia dan bukan menghalanginya, adalah isi dari deklarasi itu juga. Sejak itu, dinamika program KB di lapangan begitu menonjol. Mulai dari kota hingga sudut-sudut pelosok desa, KB menjadi barang baru. Di tengah perjuangan pemerintah dan segelintir orang dan LSM untuk mensosialisasikannya, di lapangan, program ini sesungguhnya sempat mendulang persoalan. Pasalnya, beberapa pemuka agama menyatakan pelaksanaan program KB tak sesuai dengan akidah agama. Program KB kala itu memang mengundang pro dan kontra. Tak jarang polemik pun muncul hangat ke permukaan. Pun begitu, pemerintah tetap saja mensosialisasikan dan mendorong program KB ke tengah masyarakat, seraya berusaha menyamakan persepsi dengan mereka yang berseberangan. Hasilnya, gerakan mendukung pelaksanaan program KB di Indonesia kian hari bertambah bulat. Di mana-mana KB dibicarakan. Ingat slogan "Dua Anak Cukup", terpampang hampir di banyak tempat. Rumah-rumah penduduk bercapkan tanda KB dalam lingkaran berwarna biru, terlihatdi mana-mana. Kemeriahan ini diwarnai pula oleh berbagai program KB yang dikemas dalam berbagai kegiatan innovatif dan kreatif. Kegiatan ini mewarnai program di penghujung 1970 dan awal 1980. Ketika itu, ada gerakan "Gugur Gunung" di Jawa Timur. Ada gerakan "Safari Spiral" di Jawa Barat, Safari KB Karang Taruna di Labuhan Batu, Safari KB ABRI Masuk Desa di Simalungun, Safari KB Yahowu di Nias, atau Safari Mubaligh Wanita di Kalimantan Selatan. Semua bentuk safari itu pada dasarnya adalah kegiatan memperluas cakupan peserta KB dalam rangka intensifikasi program untuk menggarap daerah-daerah legok. Caranya, dengan memobilisasi segenap potensi yang ada. Tujuannya tak lain guna mempercepat proses pelembagaan Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS). Alhasil, berbagai kegiatan itu mendulang sukses. Kebutuhan dan manfaat ber-KB dalam usaha membangun keluarga kecil, bahagia dan sejahtera, semakin dirasakan oleh masyarakat. Dalam suasana itu, di tahun 1985 pemerintah meluncurkan KB Mandiri, lebih dikenal dengan sebutan KB Lingkaran Biru. Peserta KB "kelas menengah-atas" dipersilakan memanfaatkan jalur pelayanan KB melalui dokter dan bidan praktik swasta. Perpaduan pelaksanaan KB jalur pemerintah (subsidi) dan KB jalur swasta kian mengakarkan program tersebut ke tengah masyarakat. Keluarga kecil menjadi dambaan banyak keluarga di Indonesia. Puluhan ribu keluarga muda melakukannya. Baby boom yang terjadi pada dasawarsa 1970-an memasuki tahap pengereman di tahun-tahun 1980-1990.
Atas keberhasilan program KB di Indonesia, Indonesia yang diwakili Presiden Soeharto pada 1989 menerima piagam penghargaan tertinggi di bidang Kependudukan dan KB, berupa "United Nations Population Award" dari PBB. Pada 21 Februari 1992, penghargaan internasional diterima lembaga BKKBN dalam bidang managemen, berupa "Management Development Award". Penghargaan ini diberikan oleh lembaga managemen internasional di Manila, Majalah Executive Digest dan Japan Airlines. Penghargaan managemen ini sekaligus memberikan pengakuan terhadap kernampuan pemerintah dan masyarakat dalam mengelola gerakan KB hingga ke tingkat desa dan pedukuhan. Tahun 1994, penghargaan serupa kembali diterima lembaga BKKBN. Kali ini dalam bidang manajemen operasional. Dalam ICPD 1994, satu di antaranya dinyatakan bahwa penggunaan alat kontrasepsi adalah bagian dari hak-hak reproduksi yang juga merupakan bagian dari HAM (hak azasi manusia) yang universal. Hak-hak reproduksi yang paling pokok, adalah hak individu dan pasangan untuk menentukan kapan akan melahirkan, berapa jumlah anak dan jarak anak yang akan dilahirkan, serta memilih sendiri upaya mewujudkan hak-hak tersebut. Itu berarti, pendekatan yang berlebihan pada target kuantitatif dan demografis, karenanya cenderung menimbulkan berbagai ekses negatif. Berdasarkan arahan itu, sebuah paradigma baru dalam pengembangan program KB yang terintegrasi dengan pelayanan kesehatan reproduksi sesuai konsep ICPD, dibutuhkan. Tak berlebihan kalau kemudian visi program KB dan kesehatan reproduksi mengalami reposisi, dari sebelumnya Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS) menjadi "Keluarga Berkualitas 2015". Terlepas dari persoalan perlu tidaknya program KB bagi negeri berpenduduk 220 juta jiwa ini, sumbangan program ini bagi bangsa selama 35 tahun keberadaannya, sungguh berarti. Betapa tidak, melalui keberadaannya, pertumbuhan penduduk dapat ditekan menjadi 1,49 persen dari 2,3 persen pada dekade 1970-1980. Demikian pula Total Fertility Rate turun menjadi 2,6 (2002-2003) dari sebelumnya 5,6 (1970). Indikasi itu telah memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap pengendalian penduduk melalui birth averted sebanyak 30 juta. Besarnya jumlah penduduk tetap jadi masalah. Teori Thomas Malthus pada abad ke-19 menyebutkan: "Pertumbuhan penduduk berjalan seperti deret ukur, sedangkan perkembangan pangan berkembang seperti deret hitung", menjadi kenyataan. Hingga berakhirnya penjajahan Belanda, belum tampak upaya pemerintah kolonial Belanda melakukan pengendalian pertumbuhan penduduk secara nyata. Baru setelah perang kemerdekaan usai dan penyerahan kedaulatan ke pemerintah RI, bangsa Indonesia mulai menata sendiri pembangunan negerinya. Di bidang kependudukan, kalangan dokter dan tokoh masyarakat mulai memikirkan perlunya pengendalian kehamilan untuk kesehatan ibu dan anak. Gagasan tersebut berkembang karena keprihatinan menghadapi tingginya angka kematian bayi dan ibu melahirkan. Sebagai gambaran, survei Kementerian Kesehatan RI, sekitar tahun lima puluhan, di Yogyakarta angka kematian bayi mencapai 130 dari 1000 bayi yang dilahirkan. Di Jawa Barat, angka itu jauh lebih tinggi, yakni 300 bayi per 1000 kelahiran. Lebih celaka lagi, angka kematian ibu akibat hamil dan melahirkan juga sangat tinggi hingga kini, yakni 334 per 100.000 kelahiran hidup. Karena itu mulai timbul pemikiran, program kesehatan ibu-anak mulai dikaitkan dengan gagasan pengendalian kelahiran.

B. BKKBN SEBAGAI PELAKSANA PROGRAM
Salah satu perubahan politik dan tata-pemerintahan penting yang perlu diperhatikan adalah otonomi daerah, yang diatur melalui Undang-Undang No. 32 tahun 2004 sebagai revisi dari Undang-Undang No. 22 tahun 1999. Saat ini institusi BKKBN telah mengalami desentralisasi, di mana penanganan masalah keluarga berencana di daerah sebagian menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Merekalah yang menentukan ada tidaknya institusi daerah yang secara spesifik menyelenggarakan program keluarga berencana. Perubahan seperti ini pada satu sisi dapat memberdayakan daerah dalam menangani masalah kependudukan dan KB, dan diharapkan dapat menangani masalah kependudukan lebih sesuai dengan kondisi masing-masing daerah. Otonomi program KB juga dimaksudkan untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat yang membutuhkannya. Namun di sisi lain, otonomi daerah dapat mengendorkan intensitas pengelolaan program kependudukan. Intensitas penyelenggaraan program kependudukan dan KB akan sangat tergantung kepada prioritas yang diberikan oleh pemerintah daerah. Setelah satu tahun berlangsung, tampak bahwa tidak semua daerah tertarik untuk menjalankan mandat pelayanan keluarga berencana sebagai program pelayanan publik. Berdasarkan hasil pemantauan sampai 1 Maret 2005, dari 410 kabupaten/kota yang menerima P3D, status kelembagaan KB di Kabupaten/Kota sangat bervariasi, yaitu:
a. Kabupaten/Kota yang membentuk Dinas:
1) Utuh = 30kab/kota
2) Merger = 116 kab/kota 3
Insert = 4 kab/kota
Jumlah = 150 kab/kota

b. Kabupaten/kota yang membentuk Badan:
1) Utuh = 35kab/kota
2) Merger = 79 kab/kota Jumlah
= 114 kab/kota

c. Kabupaten/kota yang membentuk Kantor:
1) Utuh = 23 kab/kota
2) Merger = 7 kab/kota Jumlah
= 30 kab/kota

Jumlah keseluruhan = 294 kab/kota
Jumlah kabupaten/kota yang belum membentuk lembaga KB sebanyak 116 dari 410
kabupaten/kota atau 28,29%.

Masalah yang perlu perhatian adalah bagaimana penanganan keluarga berencana ditingkat lokal. BKKBN telah kehilangan kaki, fungsinya saat ini hanya pada tingkat pembuatan kebijakan. Komitmen pemerintah daerah tentang program KB sangat variatif, dan pemerintah pusat tidak memiliki otoritas untuk mengatur pemerintah daerah agar meningkatkan komitmennya. Itulah sebabnya, maka strategi pengelolaan KB pada era otonomi ini bukan lagi berlandaskan pada hubungan hirarkhis, tetapi lebih diarahkan pada pendekatan yang bersifat pembinaan dan koordinatif. Untuk lebih menjamin keberlangsungan program KB, dibutuhkan komitmen yang kuat dari pimpinan tertinggi di Pemerintahan mulai dari Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota sampai pimpinan di lini lapangan. Dukungan politis juga diperlukan dari kalangan legislatif baik di pusat maupun daerah. Dukungan dari kedua lembaga itu sama pentingnya dengan dukungan dari LSM, swasta, tokoh masyarakat dan tokoh agama, karena berdasarkan pengalaman selama ini keberhasilan KB tidak hanya ditentukan oleh para pengambil kebijakan di kalangan eksekutif dan legislatif, tapi juga ditentukan oleh
dukungan moral dari berbagai lapisan masyarakat. Krisis yang dialami Indonesia sekarang ini telah membalikkan banyak hal. Dalam hal kesejahteraan, banyak orang tidak lagi berpikir bagaimana cara meningkatkannya. Sebagian besar orang hanya berpikir bagaimana bertahan hidup. Uang begitu sulit didapat, tetapi begitu mudah lepas. Paradoks yang terjadi menyebabkan nilai uang menjadi ambivalen. Pada satu sisi uang sangat berharga, ini terjadi ketika seseorang harus mendapatkannya dengan sangat susah, pada sisi lain, uang menjadi sangat rendah nilainya, yaitu ketika membelanjakannya. Saat seperti inilah pemaduan program KB dengan program peningkatan kesejahteraan, seperti Kukesra dan Takesra, bisa berperan penting. Mudah dibayangkan, keluarga yang memiliki anak banyak pasti akan lebih banyak mengalami kesulitan pada saat sekarang ini. Oleh karena itu, program KB tidak boleh lengah. Angka prevalensi pemakai kontrasepsi dan tingkat fertilitas yang
rendah harus dipertahankan. Proporsi pemakai kontrasepsi di beberapa wilayah yang masih rendah harus ditingkatkan dan tingkat fertilitas yang tinggi harus ditekan. Kelengahan dan kegagalan program KB akan membuat permasalahan menjadi bertambah runyam. Data-data di lapangan menunjukkan bahwa ketidakberlanjutan pemakaian alat kontrasepsi mulai terasakan. Hal ini dikarenakan ketidakmampuan akseptor untuk mendapatkan alat kontrasepsi, terutama bagi mereka yang harus membeli. Distribusi alat-alat kontrasepsi juga dirasakan mulai kurang lancar (Yuarsi,
1998). Bersamaan dengan krisis ini kebutuhan akan modal usaha menjadi sangat tinggi sebagai respon atas banyaknya korban pemutusan hubungan kerja dan macetnya usaha yang selama ini dijalankan. Dengan demikian, sasaran dari program peningkatan kesejahteraan yang dikelola BKKBN semakin banyak jumlahnya. Meningkatnya demand ini berarti pula meningkatkan peran program yang dimaksud. Meskipun demikian, masih selalu ada keraguan apakah program tersebut dapat menjadi strategi untuk bertahan hidup atau meningkatkan kesejahteraan. Pada masa krisis seperti sekarang ini bertahan hidup makin sulit, apalagi meningkatkan kesejahteraan. Bila demikian keadaannya, seharusnya BKKBN mengubah tujuan program kesejahteraan menjadi program bertahan hidup. Keduanya jelas-jelas berbeda.

E. PENUTUP
Tidak diragukan lagi bahwa program KB telah membuahkan hasil yang besar, pertama dalam menurunkan angka kelahiran (TFR) dan kedua dalam menginternalisasikan norma keluarga kecil. Sukses ini diakui secara nasional dan bahkan internasional. Meskipun demikian, sukses ini pun bukannya tanpa kritik.
Penurunan kelahiran masih sering dipermasalahkan akurasi datanya. Bahwa penurunan itu terjadi tidak ada yang mengingkari, tetapi angka yang diklaim BKKBN sering terlalu besar. Sementara itu, kedua sukses ini ternyata belum ditindaklanjuti secara serius. Buktinya, kualitas pelayanan KB masih terus disorot tajam. Sukses yang sesungguhnya masih perlu dijaga dan diperbaiki ternyata membuat BKKBN meloncat seperti tampak dalam program barunya (Kukesra, Takesra, Prokesra, dan sejenisnya). Program ini memang populer dan dibutuhkan, namun juga menimbulkan kekhawatiran. Kekhawatiran pertama disebabkan oleh ketidakyakinan akan kemampuan BKKBN untuk mengelolanya. Pada tahap awal barangkali akan sukses, namun dalam perjalanan selanjutnya belum bisa dipastikan. Hal ini dikarenakan lembaga tersebut tidak dirancang untuk itu, sementara lembaga lainlah yang memiliki kewajiban itu. Kekhawatiran kedua berkaitan dengan konsentrasi misi utama BKKBN yang mungkin akan berubah. Dengan memperluas kegiatan ke arah peningkatan kesejahteraan, besar kemungkinan misi pengendalian penduduk terlupakan. Klaim bahwa keduanya berkaitan memang harus diakui, namun analisis di bagian terdahulu membuktikan bahwa tidak mudah menghubungkan KB dengan kesejahteraan. Masih banyak faktor yang diabaikan atau disimplifikasikan yang pada akhirnya akan
mengarah pada illusory correlation. Pada masa krisis ekonomi seperti sekarang ini, kritik-kritik tersebut untuk sementara pasti akan surut dan hilang. Sebaliknya, ada kebutuhan yang sangat besar terhadap upaya-upaya membantu bertahan hidup pada masa krisis seperti yang dilakukan BKKBN. Sekaranglah saatnya untuk secara sungguh-sungguh menjalankan program beyond the family planning, tanpa melupakan core bussiness. Sekarang pula saatnya untuk menjalin kerja sama yang lebih baik dengan lembaga lain karena harus diakui bahwa mereka juga telah dan terus melakukan program serupa. Program yang lebih spesifik, yaitu penurunan TFR, sukses setelah melibatkan begitu banyak lembaga, apalagi program yang lebih besar seperti yang sekarang dijalankan. Aroganisme kelembagaan seperti yang selama ini banyak dilontarkan oleh para pengkritik seharusnya menjadi catatan masa lalu yang tidak diulang lagi oleh BKKBN.

F. REFERENSI
Wilopo, Siswanto Agus. 1997. "Arah dan implementasi
kebijaksanaan program keluarga berencana di Indonesia",

Yuarsi, Susi Eja. 1998. "Pemakaian norplant secara salah: antara
kualitas pelayanan dan kepatuhan akseptor",

Faturochman dan Agus Dwiyanto. 1998. "Validitas dan reliabilitas
pengukuran keluarga sejahtera",

Hanum, Sri Handayani. 1997. Perkawinan usia belia. Yogyakarta:
kerja sama Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah
Mada dan Ford Foundation.

Share this article :

1 komentar:

Recent Post

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. abang tampan - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger